Tilik Kaji
Tilik kaji sebenarnya bahasa Jawa yang sudah menasional. Penulisan ilmiah kata tilik kaji seharusnya memakai font miring karena merupakan bahasa serapan dan belum menjadi kosakata bahasa Indonesia resmi. Font miring itu kalau diketik pakai PC, tablet atau smart phone, sementara kalau ditulis pakai pena dengan tulisan tangan maka tidak bisa memiringkan kata tilik kaji. Secara harfiah tilik adalah menjenguk. Menjenguk disini tidak hanya untuk orang sakit akan tetapi bisa menjenguk kerabat untuk silaturrahim atau teman lama yang lama tidak bersua. Kaji adalah bahasa Jawa untuk haji yaitu berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan rukun Islam kelima.
Tilik kaji merupakan tradisi orang Jawa menjenguk saudara, kerabat atau teman yang akan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah Mekkah Saudi Arabia. Tradisi ini sudah ada sejak lama yaitu ketika orang Jawa mau menunaikan ibadah haji. Saat itu Jawa masih dibawah penjajahan Belanda dan teknologi belum maju seperti sekarang. Naik haji saat itu memakai moda transportasi kapal laut yang membutuhkan waktu lama. Perjalanan dari Jawa menuju Mekkah atau pelabuhan Jeddah memakan waktu sekitar 6 bulan dengan kapal laut. Perjalanan panjang yang membutuhkan waktu setengah tahun tersebut membutuhkan bekal yang banyak seperti bekal makanan, pakaian, peralatan masak dan kebutuhan lainnya. Maka ketika tilik kaji, saudara, teman atau kerabat membawa sangu atau buah tangan yang diperuntukkan bagi saudara atau teman yang akan menunaikan ibadah haji. Rerata mereka yang tilik kaji membawa bahan makanan untuk bekal dalam perjalanan dan ketika sampai ke Baitullah. Tradisi tersebut sampai sekarang masih dilestarikan walaupun teknologi sudah berkembang begitu pesat.
Berbeda dengan zaman sekarang dimana keberangkatan haji tidak lagi memakai moda transportasi laut akan tetapi memakai moda transportasi udara yaitu pesawat terbang. Waktu tempuh pun bisa dipersingkat yang semula membutuhkan waktu berbulan-bulan sekarang hanya membutuhkan waktu hitungan jam. Jemaah calon haji tidak perlu lagi membawa alat masak dan bahan makanan karena sudah disediakan oleh pemerintah.
Perubahan manajemen ibadah haji sudah berubah 180 derajat. Kalau dahulu jemaah calon haji masih memasak sendiri, mencari pemondokan sendiri dan melakukan ibadah haji secara mandiri sekarang tidak lagi. Dulu jemaah calon haji tidak perlu membayar ke pemerintah akan tetapi jemaah calon haji cukup membayar ongkos kapal laut untuk tumpangan sampai pelabuhan Jeddah. Sesampai di Jeddah jemaah calon haji bisa mencari tumpangan sendiri menuju ke Mekkah. Moda transportasi darat waktu itu hanyalah unta atau mobil itupun sangat langka. Tidak ada semacam kloter seperti sekarang. Rerata yang berangkat haji dahulu adalah pemimpin agama alias kyai yang memang mumpuni dalam ilmu agama dan bahasa Arab sehingga tidak perlu pendamping atau muthowwif yang mengarahkan untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu jemaah calon haji juga tidak didampingi oleh petugas kesehatan. Begitu mudahnya orang masuk ke Baitullah Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Teknologi berkembang, manajemen haji pun berubah. Sekarang tiap keberangkatan jemaah calon haji dibentuk kelompok terbang (kloter). Satu kloter dipimpin oleh satu ketua kloter, 1 pembimbing ibadah dan petugas kesehatan. Jemaah calon haji tidak perlu lagi membawa peralatan masak dan bahan makanan lainnya karena jemaah calon haji sudah membayar kepada negara untuk pelaksanaan ibadah haji. Semua kebutuhan jemaah calon haji sudah disiapkan oleh pemerintah, mulai dari transportasi dari daerah asal sampai tiba di Mekkah. Kebutuhan pemondokan (hotel), tenda di Arofah, muzdalifah dan Mina semua sudah disediakan oleh pemerintah. Kebutuhan makan sehari-hari juga disediakan oleh pemerintah. Jemaah calon haji sekarang tinggal berangkat tanpa harus membawa bekal apapun. Hanya do'a dan niat yang ditata untuk menunaikan ibadah haji. Jika kesulitan beribadah di tanah suci juga sudah ada petugas pembimbing ibadahnya. Jika jemaah calon haji ada yang sakit juga sudah ada tenaga kesehatannya. Begitu mudah dan begitu dimanja jemaah calon haji sekarang. Ibaratnya menaunaikan ibadah haji sekarang laksana orang plesiran atau berwisata. Mengapa demikian? Karena semua kebutuhan jemaah calon haji sudah dipenuhi oleh pemerintah.
Kembali ke tilik kaji. Tradisi tilik kaji ternyata masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Mereka selalu tilik kaji ketika ada saudara, kerabat, tetangga atau teman yang akan menunaikan ibadah haji. Satu lagi tidak lupa membawakan buah tangan sebagai bekal di tanah suci. Maksud tilik kaji sebenarnya adalah untuk mendoakan agar jemaah calon haji tersebut diberi kesehatan, kemudahan, kelancaran dalam menunaikan ibadah haji dan memperoleh predikat haji mabrur. Do'a inilah yang dinanti-nantikan oleh jemaah calon haji bukan lainnya karena dalam menunaikan ibadah haji pasti ada ujian yang tidak disangka-sangka. Kalaupun ada buah tangan dan lainnya, sekarang tidak diperlukan lagi karena semua kebutuhan jemaah calon haji di Mekkah sudah disiapkan oleh pemerintah. Ketika nanti jemaah haji pulang dari Mekkah, para saudara, kerabat, tetangga dan teman juga datang lagi untuk tilik kaji. Kedatangan mereka sebenarnya adalah untuk minta do'a dari jemaah haji yang sudah melakukan ibadah haji. Ketika mau berangkat mereka mendoakan jemaah calon haji sementara ketika pulang, mereka minta didoakan oleh jemaah haji. Keyakinan bahwa doa orang yang baru pulang haji adalah terkabul sangat membekas dalam keyakinan orang Jawa. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari ajaran yang mereka terima bahwa orang yang berhaji dan diterima hajinya ketika pulang laksana bayi yang baru lahir alias terbebas dari dosa.
Tilik kaji tidak sekedar ketika berangkat haji saja akan tetapi juga ketika pulang dari ibadah haji. Semoga jemaah calon haji diberi kesehatan, kemudahan, kelancaran dalam menunaikan ibadah haji dan memperoleh predikat haji mabrur.