GAS Pencatatan Nikah
GAS Pencatatan Nikah adalah Gerakan Sadar Pencatatan Nikah. Mengapa harus ada GAS Pencatatan Nikah? Dalam latar belakang mengapa harus ada Gerakan Sadar Pencatatan Nikah disebutkan adanya fakta sekitar 34,6 juta pasangan suami istri yang berstatus "kawin belum tercatat". Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat besar dalam administrasi pencatatan nikah. 34,6 juta adalah seperdelapan dari jumlah keluarga di Indonesia. Sebenarnya data tersebut adalah data tahun 2021 tepatnya ketika Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri membahas terkait layanan kependudukan terhadap penduduk yang belum mempunyai akta kelahiran, kartu keluarga dan KTP. Ternyata dalam data base mereka ditemukan 34,6 juta pasangan yang belum/tidak mempunyai buku nikah. Akibatnya mereka tidak bisa terlayani dalam membuat dokumen kependudukan seperti akta kelahiran, kartu keluarga dan KTP. Solusi dari Dirjen Dukcapil Kemendagri saat itu adalah agar setiap warga negara tetap mendapatkan pelayanan kependudukan status mereka ditulis kawin belum tercatat atau cerai belum tercatat. Solusi itu dilakukan demi mendapatkan layanan dan kejelasan status warga negara. Satu fakta lagi bahwa frasa "kawin belum tercatat" hanya digunakan pada tahun tersebut -2021- setelah itu tidak ada lagi frasa "kawin belum tercatat". Dirjen Dukcapil Kemendagri ketika menghadiri workshop di Bali dengan Kementerian Agama terkait pembahasan frasa "kawin belum tercatat" mengatakan bahwa solusi itu ditempuh agar semua warga negara mendapatkan layanan kependudukan dari negara., setelah tahun tersebut-2021- tidak ada lagi pencantuman frasa tersebut dalam akta kelahiran maupun kartu keluarga. Masalah ini sebenarnya sudah saya bahas dalam tulisan kawin belum tercatat dalam www.catatanridwan.id/kawin-belum-tercatat.
Apakah data 2021 tersebut masih tetap sampai sekarang? Saya kira sudah ada perubahan. Entah perubahan itu signifikan ataupun tidak. Yang jelas pasti sudah ada perubahan. Pasca tahun 2021 sudah ada solusi akan tetapi solusi itu belum dilakukan antar kementerian dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Banyak Kementerian Agama Kabupaten/Kota telah menjalin kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota yang sifatnya parsial tidak dilakukan secara nasional. Memang solusi itu harus dilakukan secara koordinatif, massif dan dilakukan antar kementerian sehingga hasil kinerjanya dapat diketahui secara nasional. Koordinasi antar kementerian memang menjadi masalah tersendiri dalam tata kelola pemerintahan. Semua kementerian seakan berjalan sendiri tanpa kolaborasi dengan kementerian lain.
Mengapa Kementerian Agama dalam hal ini Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan Surat Edaran Gerakan Sadar Pencatatan Nikah yang baru saja ditandatangani tanggal 02 Juli 2025 padahal data yang digunakan sudah 4 tahun lampau? Kementerian Agama dalam hal ini Dirjen Bimas Islam memang selama ini belum ada respon terkait adanya data pasangan sejumlah 34,6 juta yang tercatat sebagai kawin belum tercatat. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah pernikahan maka wajar saja Dirjen Bimas Islam mengeluarkan Surat Edaran merespon masalah tersebut walaupun respon itu terlambat. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Mungkin begitulah prinsip para pejabat Dirjen Bimas Islam, toh itu masalah pernikahan adalah masalah penting dalam membangun bangsa ini. Tentunya masalah pernikahan tidak hanya tanggung jawab Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama saja akan tetapi juga tanggung jawab Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri karena amanat UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang telah diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2019 bahwa pencatatan perkawinan warga negara yang beragama Islam diurus oleh Kantor Urusan Agama yang berada dibawah Kementerian Agama dan pencatatan perkawinan warga negara non Islam diurus oleh Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil yang berada dibawah Kementerian Dalam Negeri. Masih ada tumpang tindih masalah pencatatan perkawinan di Indonesia. Seharusnya pencatatan perkawinan cukup diurusi oleh Kementerian Agama yang mengurusi masalah agama bukan kementerian lain. Usaha untuk menjadikan satu pencatatan perkawinan oleh satu kementerian sudah dimulai oleh Kementerian Agama dengan menjadikan KUA sebagai tempat untuk pencatatan perkawinan semua agama. KUA dengan kekuatan infrastrukturnya hampir 6.000 KUA se-Indonesia yang terletak di Kecamatan sangat menjangkau urusan pencatatan perkawinan. Berbeda dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang hanya ada di pusat kabupaten/kota, KUA berada di tingkat kecamatan dan lebih dekat dengan warga. Maka KUA lebih strategis, efektif dan tepat sebagai kantor yang mencatatkan perkawinan semua warga negara Indonesia. Akan tetapi usaha ini mendapatkan tantangan keras dari Kementerian Dalam Negeri karena UU mengamanatkan bahwa pencatatan perkawinan bagi warga negara yang beragama Islam ada di KUA sementara perkawinan warga negara non Islam kewenangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Sebenarnya masalah tersebut bisa diselesaikan baik-baik jika ada iktikad baik dari Kementerian Dalam Negeri. Sudah saatnya masalah agama diurusi oleh Kementerian Agama bukan kementerian lain. Kadang masalah mudah ini dianggap sulit mungkin ada sesuatu dibalik ketidaksetujuan penyatuan pencatatan perkawinan warga negara.
Kembali ke GAS Pencatatan Nikah. Memang harus ada edukasi kepada warga agar mencatatkan perkawinan mereka ke KUA bagi umat islam atau Dinas Dukcapil bagi non muslim. Dengan tercatatnya perkawinan mereka di KUA atau Dinas Dukcapil maka status hukum perkawinan mereka terjamin baik dari segi hukum positif maupun syar'i. Yang lebih penting hak-hak mereka sebagai warga negara tetap terlindungi. Semoga GAS Pencatatan Nikah merupakan solusi terbaik mengatasi masalah kawin belum tercatat di negara ini. Tentunya gerakan ini membutuhkan waktu dan data yang valid sehingga didapatkan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah pasangan dengan status kawin belum tercatat.