Malem Songolikur
Malem songolikur adalah malam dua puluh sembilan bulan Ramadhan. Sebenarnya saya mau nulis tradisi malem songolikur ini ketika malem songolikur bulan Ramadhan kemarin akan tetapi karena banyak kesibukan akhirnya tidak jadi. Baru kesempatan kali ini saya menulis tentang tradisi malem songolikur yang masih berjalan di daerah asal saya. Malem songolikur sebenarnya adalah peristiwa biasa yang dirayakan atau diperingati layaknya malam ganjil dalam bulan Ramadhan. Tradisi masyarakat Jawa ketika memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan selalu ada tradisi maleman. Maleman dilaksanakan pada malam ganjil bulan Ramadhan. Tradisi maleman ini sebagai salah satu cara masyarakat Islam Jawa menyambut dan meramaikan datangnya lailatul qodar -malam seribu bulan-. Sejak kapan tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa belum ada yang tahu secara pasti. Yang jelas tradisi ini sudah turun-menurun sampai sekarang. Biasanya tradisi ini ditandai dengan acara makan bersama di masjid atau musholla dimana setiap orang membawa berkatan atau makanan ke masjid dan musholla tersebut pada waktu buka puasa. Mayoritas masyarakat Islam Jawa melakukan tradisi ini.
Ada satu tradisi yang sampai sekarang juga masih dilaksanakan ketika malem songolikur Ramadhan yaitu pelaksanaan akad nikah. Setiap malem songolikur Ramadhan masyarakat di daerah sekitar Ngawi, Bojonegoro, Tuban dan Lamongan mengadakan akad nikah. Ketika malem songolikur trafik pelaksanaan nikah naik drastis. Di daerah Bojonegoro dan Tuban satu malam itu bisa 500 peristiwa nikah. Ini merupakan kepercayaan masyarakat setempat. Saya pernah mengalami pelaksanaan akad nikah di malem songolikur Ramadhan. Dalam semalam itu bisa mengawasi pernikahan sebanyak 20 peristiwa nikah. Dalam tradisi Jawa pernikahan adalah hal yang sakral. Ketika akan menikah biasanya dihitung dulu satuan atau weton dari kedua calon mempelai. Jika hitungan tadi berakhir baik maka dilanjutkan mencari hari akad nikah. Dalam mencari hari akad nikah pun dihitung sedemikian rupa agar pernikahan nanti bisa baik dan langgeng. Ilmu seperti itu sudah dipegang oleh masyarakat Jawa sejak dahulu. Ilmu itu bukanlah ilmu perdukunan akan tetapi ilmu itu adalah ilmu futurologi (ilmu masa depan) meminjam istilahnya Denys Lombard maestro sejarah dari Prancis yang menelurkan karya Nusa Jawa: Silang Budaya. Sedikit mengulas ilmu futurologi ala Jawa tersebut. Dalam masyarakat Jawa ada tradisi mencari weton atau satuan. Weton digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menentukan suatu hal, baik itu karakter, keberuntungan seseorang bahkan hingga nasib dan lain sebagainya. Dalam tradisi Jawa ada hari dan pasaran. Hari jumlahnya 7 yang dimulai dari ahad atau ngad sampai Sabtu atau setu. Secara rinci hari dalam bahasa Jawa adalah ngad, senin, seloso, rebo, kemis, jemuwah dan setu. Tiap hari mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Ngad (ahad) nilainya 5, Senen=4, Seloso=3, Rebu=7, Kemis=8, Jemuwah=6 dan Setu=9. Adapun jumlah pasaran ada 5 yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Pasaran juga mempunyai nilai sendiri-sendiri. Adapun nilainya adalah Legi=5, Pahing=9, Pon=7, Wage=4, Kliwon=8. Untuk mencari weton kedua mempelai hari dan pasaran tanggal lahir dijumlah kemudian dihitung apakah nasibnya baik atau tidak. Sudah ada rumus apakah pernikahan kedua mempelai itu baik atau tidak dalam primbon. Misal jumlah keseluruhan neptu kedua mempelai adalah 29 maka angka itu dicari dalam primbon. Kalau jatuh pada nasib baik maka dilanjutkan. Kalau tidak maka ada syarat tertentu yang harus dilakukan oleh keluarga mempelai. Untuk pelaksanaan akad nikah juga dicari hari baik dari kedua mempelai tersebut. Istilah orang Jawa mencari nogodino. Istilah nogodino ini memang perlu dipertanyakan karena orang Jawa bukan memakai naga -hewan mitologi Tiongkok- akan tetapi memakai kerbau atau maheso. Entah sejak kapan pemakaian nogodino dalam tradisi Jawa belum ada yang tahu. Lokasi pernikahan dicari berdasarkan kemana arah hewan naga pada hari itu menghadap. Dari mana mengetahui arah hewan nogo pada hari itu menghadap? Hewan naga ini untuk hari-hari tertentu memang tidak menghadap ke arah manapun. Salah satu hari dimana naga tidak menghadap ke manapun adalah hari keduapuluh sembilan Ramadhan atau malem songolikur. Saat tidak menghadap kemanapun itulah artinya hari itu baik untuk kegiatan apapun walaupun dalam pernikahan weton atau satuan kedua mempelai tidak begitu baik. Maka dari itu ketika malem songolikur mayoritas warga Bojonegoro dan Tuban melaksanakan pernikahan. Tradisi malem songolikur ini tidak akan ditemui di daerah lain walaupun sama-sama masyarakat Jawa. Itulah sekilas tentang ilmu futurologi (ilmu masa depan) ala Jawa.
Tradisi malem songolikur untuk pernikahan ini memang masuk akal. Mengapa demikian? Karena ketika lebaran Idul Fitri semua orang mudik ke kampung halaman. Ketika semua sanak saudara pulang dan berkumpul maka dilangsungkan akad nikah dengan harapan semua keluarga mengetahui bahwa si A dan si B sudah menikah. Selain itu ketika mudik lebaran tidak jarang pemudik yang belum menikah sekaligus membawa pasangannya untuk menikah. Selain itu malem songolikur juga merupakan malam ganjil bulan Ramadhan siapa tahu saat itu bertepatan dengan turunnya malam seribu bulan -lailatul qodar-