Dua Puluh Ribu
Dua puluh ribu bukanlah angka keberuntungan. Mengapa dua puluh ribu bukan sepuluh ribu atau lima ribu? Dua puluh ribu menjadi angka penting bagi rakyat Indonesia. Ya, Badan Pusat Statistik atau BPS menetapkan ambang batas bawah kemiskinan di negara ini adalah Rp. 609.160 per bulan atau Rp. 20.305,- per hari. Artinya jika pengeluaran seorang penduduk melebihi Rp. 20.305 per hari maka penduduk tersebut bukan termasuk penduduk miskin. Dengan menggunakan standar tersebut maka jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sekitar 23.8 juta jiwa atau 8.47% menurut laporan BPS Juli 2025. Terjadi penurunan sebesar 0,21 juta penduduk miskin dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin September 2024..
Perhitungan BPS berbanding terbalik dengan perhitungan Bank Dunia. Bank Dunia merilis bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194.6 juta jiwa atau 68% dari jumlah penduduk 280 juta. Mengapa terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara perhitungan BPS dan Bank Dunia?
BPS menetapkan Rp. 20.300 untuk menentukan seorang penduduk menjadi kategori miskin. Artinya jika pengeluaran seorang penduduk lebih dari dua puluh ribu maka masuk kategori bukan miskin. Mari kita ulas apakah memang layak Rp. 20.300 tersebut menjadi standar BPS dalam menentukan tingkat kemiskinan seseorang. Menurut BPS kemiskinan adalah kondisi dimana individu atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan untuk hidup layak.
Hidup layak adalah jika kebutuhan dasar manusia seperti pangan, air bersih, tempat tinggal layak, pendidikan dan pekerjaan yang adil terpenuhi. Merujuk pada peraturan menteri tenaga kerja nomor 18 tahun 2020 tentang Kebutuhan Hidup layak ada 64 komponen yang harus dipenuhi jika seseorang dikategorikan hidup layak. Komponen utama dikatakan hidup layak adalah sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), papan (tempat tinggal), kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi, rekreasi, tabungan dan jaminan sosial terpenuhi.
Kembali ke angka Rp. 20.300,- Apakah standar tersebut memenuhi kebutuhan hidup layak? Uang sebesar Rp. 20.300 jika digunakan untuk membeli makan di kota hanya untuk sekali makan. Rata-rata sekali makan di perkotaan berkisar antara 15-20 ribu. Itupun makanan sangat sederhana. Coba anda beli makan di kota Jakarta, Surabaya, Medan maka uang Rp. 20.000 hanya bisa untuk sekali makan plus minuman. Harga satu gelas minuman teh hangat atau jeruk hangat berkisar 4-8 ribu. Sementara satu porsi makan dengan lauk tempe atau tahu seharga 15-16 ribu. itu harga di perkotaan. Berbeda jika di pedesaan. Uang Rp. 20.000 bisa untuk makan dua kali dalam sehari. Itupun dengan syarat makan sederhana. Uang Rp. 10.000 bisa untuk makan sekali plus minum untuk ukuran anak kost. Jadi standar Rp. 20.000 hanya bisa untuk memenuhi makan sekali sehari. Sementara kebutuhan lain belum dihitung. Standar BPS tersebut sangat minimalis sekali dan tidak masuk di akal orang waras. Bagi BPS, orang makan dua kali sehari sudah dianggap bukan miskin. Bahwa ada kebutuhan papan (tempat tinggal), sandang (pangan), transportasi, komunikasi tidak dihitung. Wajar saja jika banyak warga negara Indonesia yang tidak bisa sekolah, tidak mempunyai rumah dianggap tidak masuk kategori miskin karena standar BPS dianggap miskin jika hanya bisa makan sekali sehari. Sangat ironis sekali. Begitu rendahnya standar mengukur tingkat kemiskinan di negara ini. Standar Rp 20.000 jelas tidak masuk akal. Bagaimana masuk akal jika seorang penduduk dikategorikan miskin jika hanya makan sekali sehari dan tidak mengukur kebutuhan pokok lainnya. Kalau diperinci, memang bisa makan dua kali sehari akan tetapi tidak mempunyai pakaian layak, tidak punya rumah, tidak bisa mengakses pendidikan, tidak masuk jaminan sosial ternyata kategori penduduk tidak miskin. Tega sekali BPS membuat standar Rp. 20.000 untuk mengukur tingkat kemiskinan negara ini.
Berbeda dengan Bank Dunia yang menetapkan standar kemiskinan dengan batasan pengeluaran minimal $6.85 per orang per hari untuk negara berpenghasilan menengah. $6.85 dolar kalau dirupiahkan menjadi sekitar Rp. 113.000 (dengan kurs $1 dolar Rp. 16.500). Standar Bank Dunia ini lebih masuk akal. Hidup layak sebagaimana dalam peraturan menteri ketenagakerjaan terpenuhi dengan standar dari Bank Dunia ini.
Sudah saatnya BPS merubah standar kemiskinan di negara ini. Jangan berpatokan pada laporan asal bapak senang untuk menetapkan standar kemiskinan. Lihatlah fakta di lapangan dan akal sehat. Saya yakin orang BPS tidak menutup mata jika hidup di Jakarta. Pegawai BPS jelas akan berkata standar Rp. 20.000 tidak masuk akal. Mungkin pegawai BPS lupa ketika mereka makan di warung di sekitaran kantornya. Harga satu porsi makan dan minum yang layak per orang jelas melebihi Rp. 20.000,-.
Semoga BPS segera menetapkan standar kemiskinan sesuai dengan akal sehat dan fakta lapangan.