Hilal Kontroversial?
Mengapa saya lebih memilih judul hilal kontroversial dari pada hilal politis? Berawal dari kesaksian hilal yang ditolak oleh Mahkamah Syari'ah Lok Nga Provinsi Aceh Darussalam pada hari Jum'at, 28 Pebruari 2025 kemarin. 2 orang saksi atau perukyat telah diambil sumpahnya dan mengaku melihat hilal awal bulan Ramadan 1446 H. Kemudian hakim menolak kesaksian tersebut karena alasannya bukan orang Aceh. Entah ada aturan tertulis atau tidak bahwa saksi harus dari orang Aceh. Yang jelas kesaksian 2 perukyat yang diberi surat tugas oleh Kementerian Agama RI tersebut, kesaksiannya ditolak oleh Mahkamah Syari'ah Lok Nga karena bukan orang Aceh. Sementara yang diterima kesaksiannya adalah orang Aceh yang tidak melihat hilal.
Pemerintah RI dan NU menetapkan awal bulan Ramadan 1446 H jatuh pada tanggal 01 Maret 2025 berdasarkan kesaksian 2 perukyat yang mengaku melihat hilal tersebut. Kesaksian 2 perukyat inilah yang membikin kontroversi. Perlu diketahui bahwa 2 perukyat tersebut memang perukyat yang sudah sering melihat hilal setiap akhir bulan hijriyah. 2 perukyat itu memang ditugaskan oleh Kementerian Agama RI untuk mengikuti rukyatul hilal di Aceh karena Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang memenuhi kriteria MABIMS untuk pengamatan hilal akhir Sya'ban 1446 H tahun ini. Namanya adalah Inwanudin dan Qalbi. Inwanudin ini adalah ahli hisab sekaligus perukyat dari Gresik dan juga anggota LF PWNU Jawa Timur. Sementara Qalbi adalah perukyat dan ahli hisab dari Kabupaten Sidoarjo. Jangan tanya masalah hisab rukyat terhadap 2 perukyat ini karena memang keduanya ditempa masalah rukyatul hilal di LF PCNU dan PWNU Jawa Timur. Dua perukyat ini sering melihat hilal di saat perukyat lain tidak bisa melihat dan bahkan alat teropong pun tidak bisa melihat. Kehebatan dua perukyat inilah yang membuat Kementerian Agama RI memberikan tugas untuk mengikut rukyatul hilal akhir Sya'ban 1446 H di Aceh.
Benar saja dua perukyat tersebut melihat hilal -menurut pengakuannya-. Pada saat yang sama semua alat canggih dan perukyat di lokasi tersebut tidak melihat hilal bahkan laporan dari tim perukyat Kementerian Agama provinsi Aceh melaporkan hilal tidak terlihat karena mendung. Bahkan tim ahli dari Boscha pun melaporkan tidak berhasil melihat hilal. Bagaimana 2 perukyat itu bisa melihat hilal di saat kondisi cuaca mendung? Inilah yang menjadi perdebatan sampai sekarang.
Bagaimana dengan keputusan pemerintah RI dan NU memutuskan bahwa awal Ramadan 1446 H jatuh pada tanggal 01 Maret 2025 berdasarkan kesaksian dua perukyat tersebut? Masalah keputusan Pemerintah RI dan NU tidak ada masalah karena wilayah Aceh sudah memenuhi kriteria MABIMS untuk memasuki bulan Ramadan 1446 H. Jadi ada atau tidak ada kesaksian perukyat yang melihat hilal maka bulan Ramadan 1446 H bisa diputuskan. Masalahnya hanya terletak pada kesepakatan kriteria. Apakah lebih mengutamakan rukyatul hilal atau imkanurrukyah. Kalau lebih mengutamakan rukyatul hilal maka harus dipastikan hilal terlihat untuk memutuskan awal bulan baru hijriyah. Jika tidak ada yang melihat hilal maka bulan baru harus diundur sehari karena harus menggenapkan bulan berjalan alias istikmal. Jika memilih kriteri imkanurrukyah maka tidak perlu lagi menunggu hasil kesaksian perukyat. Jika sudah memenuhi kriteria maka otomatis bulan baru hijriyah bisa diputuskan. Sebaliknya jika belum memenuhi kriteria maka bulan baru belum bisa ditetapkan.
Bagaimana dengan kesaksian 2 perukyat di Aceh kemarin? Kesaksian itu bisa diterima karena perukyat tidak harus dari orang lokal Aceh. Perukyat bisa dari manapun. Kasus tersebut seperti pada zaman Nabi Muhammad SAW dimana datang seorang Badui yang mengaku melihat hilal kemudian Nabi Muhammad SAW menanyai secara detail pengakuan tersebut kemudian mengambil sumpah orang Badui tersebut. Atas dasar pengakuan dan sumpah tersebut Nabi Muhammad menetapkan awal bulan Ramadan.
Memang terjadi perdebatan panjang kesaksian dua perukyat tersebut. Ada dua kubu dalam perdebatan tersebut yaitu kubu yang fiqh sentris dan kubu saintifik sentris. Kubu fiqh sentris mengedepankan kesaksian melihat hilal yang syaratnya dilakukan oleh perukyat yang adil tanpa menghadirkan bukti dokumen atau rekaman hilal. Sementara kubu saintifik sentris meminta adanya bukti dokumen atau rekaman hilal. Perdebatan ini berjalan begitu saja tanpa ada solusi. Apakah perdebatan itu akan terus berlanjut tanpa solusi? Perbedaan antara fiqh dan saintifik ternyata nyata terjadi pada ranah rukyatul hilal. Semoga ada solusi mempertemukan dua kubu ini dalam rukyatul hilal yang akan datang.