Penjual Putu Bumbung
Sebutlah namanya Paijan. Asli desa Alasdowo Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Tiap hari selalu berjualan kue putu bumbung keliling desa Alasdowo, Kenanti dan Bakalan. Kemudian pulang ke Alasdowo lagi. Kue putu bumbung adalah kue atau jajanan terbuat dari tepung beras, gula merah dan parutan kelapa. Kue ini memang enak dimakan ketika waktu santai. Paijan sudah berjualan kue ini selama 19 tahun. Mulai tahun 2005 sudah mulai menjajakan kue ini di sekitar desa Alasdowo.
Tiap hari mulai pukul 14 WIB sudah mulai keluar rumah untuk berjualan kue ini. Tidak seperti penjual kue putu sekarang yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan dengan gerobak yang minimalis atau keliling kampung dengan menggunakan sepeda motor. Hanya berbekal sepeda pancal atau pit onthel, Paijan berkeliling untuk menjual kue putu. Sepeda onthel itupun sudah sangat tua. Merknya phoenik. Sekilas sepeda tersebut tidak terawat karena kelihatan sekali velg ban sepeda sudah berkarat. Velg depan maupun belakang karatannya sudah banyak sekali. Kalau dirawat tidak akan kelihatan ada karatan dan kelihatan kinclong alias bersih. Ruji-ruii ban sepedanya juga kelihatan tidak terawat. Dengan berbekal rombong yang ditaruh boncengan sepeda bagian belakang, Paijan selalu berangkat tepat waktu pukul 14 WIB.
Umur Paijan sekitar 57 tahun. Keluarganya termasuk keluarga miskin. Dia mempunya anak satu yang masih sekolah. Selain sebagai penjual kua putu bumbung dia juga memelihara kambing. Tiap pagi kesibukannya adalah mencari rerumputan untuk makan kambingnya. Ada sekitar 4 kambing dia punya dan ditaruh di kandang. Setelah pulang mencari rerumputan untuk makanan kambing itulah dia berjualan kue putu. Keahlian membuat kue putu didapatkan dari seseorang yang pernah menyewa rumah saudaranya. Orang yang menyewa rumah saudaranya itu berjualan kue putu. Asalnya Wonogiri Jawa Tengah. Paijan minta diajari untuk membuat kue putu. Setelah mendapatkan ilmu membuat kue putu Paijan tidak langsung berjualan kue putu karena masih ada yang jualan kue putu di daerahnya tersebut. Lama-kelamaan orang yang menyewa rumah saudaranya tersebut pulang ke daerah asalnya dan tidak ada lagi yang jualan kue putu. Dulu kue putu memang tidak dikenal di daerah sekitar desa Alasdowo karena kue ini memang kesukaan orang kota. Setelah penjual kue putu tidak ada kemudian Paijan mulai berjualan kue tersebut dengan cara berkeliling kampung.
Menurut pengakuannya dia adalah satu-satunya penjual kue putu bumbung di daerah Alasdowo dan sekitarnya. Menurut dia tidak ada penjual kue putu bumbung selain dirinya sampai saat ini. Menjual kue putu bumbung bukanlah satu-satunya pekerjaan yang ditekuni oleh Paijan. Selain sebagai penjual kue putu bumbung kadang Paijan juga ke ladang atau bekerja di sawah akan tetapi seiring usinya yang semakin senja dia menekuni berjualan kue putu bumbung. Tiap hari dia menghabiskan sekitar 2 kg tepung beras. 2 kg tepung beras itu jika dimasak menjadi kue putu menghasilkan sekitar 200 ribu rupiah. Per biji kue putu dijual Rp. 500,- jadi bisa ditebak 2 kg tepung beras jika dimasak menjadi kue putu menghasilkan sekitar 400 buah. Modal yang dibutuhkan tidak hanya tepung beras dan gula merah saja akan tetapi juga pembungkusnya yaitu daun pisang, kertas pembungkus dan kantong kresek. Bagi Paijan menghasilkan uang Rp 200.000 sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Tiap hari Paijan berkeliling menjual kue putu bumbung dan tidak ada liburnya kecuali kalau badannya lagi tidak sehat. Adapun rutenya adalah mulai dari rumah Alasdowo kemudian ke Desa Kenanti lanjut ke desa Bakalan kemudian pulang ke rumah lagi. Pulang ke rumah sekitar jam 5 sore sebelum maghrib. Rute menjual kue putu bumbung Paijan sekitar 5 km pulang pergi. Walaupun banyak penjual kue yang memakai sepeda motor Paijan tidak ingin berjualan dengan sepeda motor karena memang tidak punya sepeda motor. Paijan selalu memakai topi dan masker penutup wajah. Entah alasan apa yang membuat dia selalu memakai topi dan masker penutup wajah. Memakai topi mungkin untuk menutupi kepala biar tidak kepanasan. Sementara memakai masker penutup wajah agar tidak menghirup debu di jalanan. Memang hidup di jalanan penuh dengan debu apalagi musim kemarau.
Pekerjaan menjual kue putu bumbung dilakukan dengan sangat sabar dan santai. Tidak pernah dia terburu-buru untuk segera terjual habis dan kembali pulang. Sepeda onthel pun kadang tidak dikayuh akan tetapi dituntun entah karena ingin berlama-lama dalam perjalanan dan agar anak-anak mendengar suara penjual kue putu. Penjual kue putu bumbung sangat khas karena ada bunyi-bunyian seperti seruling yang keluar dari alat memasaknya. Cara memasak kue putu bumbung adalah tepung beras dan gula merah dimasukkan dalam bumbung bambu kemudian dikukus di atas uap panas. Uap yang keluar ini kalau tidak dipakai mengukus akan menimbulkan suara nyaring dan khas. Kue putu sebenarnya singkatan dari pencari uang tenaga uap.
Paijan menikmati perannya sebagai penjual kue putu bumbung dengan selalu berkeliling kampung tiap hari. Penghasilan menjual kue putu bumbung bagi dia sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Nrimo ing pandum begitulah moto yang dipakai oleh Paijan. Tiap hari dengan modal 2 kg tepung beras dan gula merah selalu habis. Penghasilan 200 ribu sudah cukup baginya untuk menikmati hidup dalam sehari itu. Tidak perlu neko-neko. Semua yang dimiliki selalu disyukuri. Walaupun sudah umur senja badannya tetap sehat.
Begitulah seharusnya hidup ini. Nrimo ing pandum (menerima segala pemberian dengan ikhlas) dan tidak neko-neko (tidak banyak tingkah). Konsisten dan tawakkal. Syukuri apa yang ada.