Butet Kartaredjasa
Siapa yang tidak kenal dengan Butet Kartaredjasa? Ya Butet Kartaredjasa adalah salah satu seniman asal Jogjakarta yang lagi ngetren di media sosial itu gegara pisuhannya yang viral itu. Saya tidak perlu menyebut pisuhan itu karena bagian dari etika ketimuran. Nama lengkap Butet Kartaredjasa adalah Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa. Butet dilahirkan di Yogyakarta 21 Nopember 1961 (62 tahun). Butet adalah kakak kandung dari seniman R. M. Gregorius Djaduk Ferianto. Butet adalah putra dari seorang kareografer dan pelukis tersohor di Indonesia, Bagong Kussudiardja. Keluarga Butet Kartaredjasa adalah keluarga seniman . Sebagai keluarga seniman wajar jika kehidupannya begitu egaliter, bebas berekspresi dan bebas mengkritik siapapun yang dikehendaki. Seniman adalah orang bebas. Butet Kartaredjasa pernah dijuluki seniman Keseleo Lidah. Saat itu tahun 1998 menjelang kejatuhan Soeharto, Butet Kartaredjasa pernah membacakan puisinya yang nyaris sama dengan puisi yang dibacakan pada acara Hajatan Rakyat Jogja Minggu, 28 Januari 2024 di Kulonprogo itu. Pisuhannya juga sama dengan puisi 1998.
Saya masih teringat ketika itu Butet membacakan puisi pada acara yang diadakan oleh aktivis IAIN Sunan Kalijaga di halaman utara IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) beliau keselio lidah dengan mengucapkan nama presiden Soeharto. Di depan nama presiden Soeharto ditambah satu huruf yaitu huruf A jadilah........A.....Soeharto. Dari sinilah kemudian nama itu selalu disematkan oleh aktivis jalanan 98 ketika menggulingkan rezim Soeharto. Nama presiden dengan tambahan huruf A di depan ini menjadi terkenal ketika ada aksi jalanan mahasiswa maupun masyarakat umum. Gegara keseleo lidah inilah kemudian Butet Kartaredjasa dijadikan TO (target Operasi) oleh orde baru saat itu. Gerakan dan aksi Butet Kartaredjasa selalu dalam pengawasan pihak aparat keamanan dan intelejen. Orde Baru adalah orde yang sangat mengekang masyarakat dalam hal perpolitikan. Siapapun yang berani mengganggu pemerintah dengan cara mengkritik apalagi demontrasi maka ancamannya adalah penjara bahkan nyawa pun bisa hilang. Sudah berpuluh bahkan beratus-ratus korban akibat melawan orde baru pimpinan Soeharto waktu itu. Dari peristiwa keseleo lidah inilah Butet Kartaredjasa menjadi terkenal seantero Indonesia. Banyak kalangan yang anti pemerintah waktu itu selalu mengundang Butet dalam orasi politik.
Kejadian di Kulonprogo dalam acara kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024, Ganjar- Mahfud terulang kembali keseleo lidah ini. Saya menyebutnya bukan keseleo lidah akan tetapi memang sudah direncanakan dan memang sengaja dibuat dalam puisi tersebut. Terminologi yang tak pantas tersebut begitu jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam kampanye yang dihadiri oleh ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan paslon Gofud. Semua pun terbawa oleh puisi yang dibaca Butet Kartaredjasa. Tidak hanya terminologi A..... itu saja yang muncul akan tetapi ada juga terminologi lain yaitu we......s. Siapakah yang dipisuhi oleh Butet Kartaredjasa dalam puisi itu? Sangat jelas yang dipisuhi adalah Jokowi. Entah yang dimaksud dengan Jokowi itu siapa? apakah Jokowi tukang bakso ataukah Jokowi makelar hewan ataukah Jokowi presiden Republik Indonesia sekarang ini? Dalam hukum semua bisa terjadi. Kata Jokowi belum tentu presiden RI sekarang ini karena nama Jokowi sangat banyak. Misal di persidangan nanti bisa saja pengacara bilang Jokowi yang dimaksud adalah tukang bakso yang ada di lapangan tersebut ataukah Jokowi yang pekerjaan sebagai makelar hewan di pasar hewan Kulonprogo. Interpretasi kata Jokowi dan siapa Jokowi sangat luas sekali. Akan tetapi kalau diruntut secara tertib dari awal sampai keluarnya istilah yang tidak pantas tersebut maksudnya sangat jelas yaitu Bapak Jokowi presiden RI sekarang ini.
Wajar saja jika pihak PDIP sekarang berang dengan presiden RI sekarang karena secara jelas berseberangan dengan PDIP dan calon presiden mereka. Presiden Jokowi pun tidak mengucapkan selamat hari ulang tahun PDI-P dan bahkan tidak hadir dalam peringatan HUT PDI-P walaupun diundang secara resmi. Perseteruan antara Presiden Joko Widodo dengan PDI-P sudah sangat jelas ketika periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Banyak kalangan menilai presiden Joko Widodo tersandera dengan PDI-P yang mengusungnya menjadi presiden. Bahkan ketum PDI-P secara terang-terangan merendahkan pribadi Joko Widodo sebagai presiden RI di saat ulang tahun PDI-P tahun lalu di depan massa dan fungsionaris PDI-P. Masih banyak lagi mungkin "penyerangan" elit PDI-P kepada Joko Widodo. Kasus yang paling mencuat di publik adalah usaha presiden Joko Widodo untuk menangkap buronon KPK, Harun Masiku tidak berhasil sampai sekarang karena adanya perlindungan dari elit PDI-P. Usaha presiden untuk memberantas korupsi di tubuh pemerintahan tersandera dengan usaha presiden menangkap Harun Masiku yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK tidak pernah berhasil. Walhasil gegara inilah usaha pemberantasan korupsi di Indonesia diremehkan dan disepelekan oleh pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Kasus yang paling gress semakin renggangnya hubungan PDI-P dengan presiden Joko Widodo adalah masalah pencalonan calon presiden dan wakilnya. Khalayak sudah menduga presiden Joko Widodo menginginkan agar Ganjar Pranowo menjadi calon presiden sebagai penerus dirinya akan tetapi PDI-P tidak merestui si rambut putih itu sebagai calon presiden dan lebih mengutamakan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDI-P. Bahkan sempat terjadi friksi di tubuh PDI-P menyikapi proses pencalonan calon presiden dari partai banteng bermoncong putih itu. Masih ingat ada istilah dewan kolonel dan celeng degleng. Perseteruan antara PDI-P dan Presiden Joko Widodo semakin memuncak ketika presiden mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan didampingi oleh putranya sendiri yaitu Gibran Rakabumingraka.
Perseteruan inilah yang menyebabkan Butet Kartaredjasa jengkel dan meluapkan kemarahannya dengan perkataan yang tidak pantas tersebut bagi seorang presiden. Bagi seorang seniman semacam Butet Karteredjasa, kata-kata tersebut adalah hal yang biasa karena memang seniman itu bebas berekspresi dan egaliter. Melihat kasus Butet Kartaredjasa harus dari kacamata kesenian bukan dari kacamata hukum. Biarkanlah seniman itu berekspresi sesuai dengan keinginannya asalkan bertanggungjawab. Dalam negara hukum yang demokratis siapapun dijamin kebebasan ekspresinya asalkan bertanggungjawab dan tidak melanggar norma hukum yang ada. Hingar bingar politik sesaat jangan sampai membuat persatuan rakyat kita pecah. Tetaplah berpikir jernih. Utamakan kesatuan dan persatuan bangsa.