Maleman
Memasuki 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan, ada tradisi yang sudah dilakukan turun temurun oleh mayoritas masyarakat Jawa yaitu tradisi maleman. Tradisi maleman ini dilakukan ketika malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Tidak tahu pasti kapan munculnya tradisi maleman ini. Yang jelas tradisi ini berkaitan erat dengan cara masyarakat Jawa menyambut dan menghidupkan lailatul qodar. Dulu orang tua atau kakek kita menyebut hari ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan dengan sebutan malem selikur, malem towong (malam tidak ganjil), malem telulikur, malem towong, malem selawe, malem towong, malem pitulikur, malem towong dan malem songolikur. Tradisi maleman dilakukan berbeda-beda antar desa. Umumnya mereka mengundang tetangga untuk mengaji atau tahlil di rumahnya menjelang maghrib dilanjut dengan buka bersama kemudian ketika pulang dikasih berkat (makanan yang dibawa pulang setelah kenduri). Ada tradisi maleman dijadikan satu di masjid atau musholla sebagai penanda berakhirnya acara tadarus di masjid atau musholla tersebut secara umum akan tetapi tetap dilanjutkan secara pribadi. Kadang ada yang menyebut khataman tadarus. Ada yang membagikan makanan atau jajan kepada tetangga. Banyak ragam tradisi maleman di masyarakat yang intinya adalah menghidupkan lailatul qodar.
Tradisi maleman sudah sangat mengakar di masyarakat Jawa. Kemungkinan besar kemunculan tradisi ini diinisiasi oleh penyebar agama Islam di tanah Jawa waktu itu yaitu Walisongo. Di kampung-kampung sangat semarak ketika sudah memasuki maleman. Tiap masjid dan musholla giliran mengadakan maleman dan mengundang seluruh jamaah se-desa. Acara maleman di masjid atau musholla biasanya adalah pembacaan tahlil kemudian dilanjut dengan membaca dzikir yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan yaitu "Allahumma innaka 'afuwwun karim, tuhibbul 'afwa fa'fu anniy". (Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan Maha Mulia, suka mengampuni, maka ampunilah aku) sampai waktu maghrib yaitu buka bersama. Tradisi ini merupakan salah satu cara jitu Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam untuk menjemput lailatul qodar secara bersama-sama. Ketika menjemput lailatul qodar dianjurkan untuk memperbanyak dzikir salah satunya yang sudah disebutkan di atas kemudian bersedekah kepada sesama muslim dan sholat berjamaah. Dalam tradisi maleman semua kegiatan tersebut dilakukan. Biasanya acara dimulai menjelang maghrib kemudian setelah buka bersama semua yang hadir dikasih berkatan dan dilanjut dengan sholat maghrib berjamaah. Inilah cara unik menjemput dan menghidupkan lailatul qodar orang Jawa. Tradisi maleman biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa yang dekat dengan kerajaan Mataram Islam. Semua wilayah kerajaan Mataram Islam mengadakan tradisi maleman karena memang tradisi tersebut sebagai pembeda dengan tradisi kerajaan lain. Di luar kerajaan Mataram Islam tidak jumpai tradisi semacam ini. Bahkan tradisi maleman dilakukan oleh kerajaan Mataram Islam secara besar-besaran. Tradisi maleman ini bisa dilihat di Kasultanan Jogjakarta dan juga Kasunanan Solo Hadiningrat yang merupakan pewaris dari kerajaan Mataram Islam. Setiap memasuki 10 hari terakhir Ramadhan digelar acara maleman oleh keraton beserta seluruh punggawanya. Acara tersebut ditonton oleh masyarakat luar keraton.
Bagaimanapun tradisi maleman adalah tradisi baik yaitu menghidupkan dan menyambut lailatul qodar secara berjamaah. Ketika maleman tiba biasanya ada istilah weweh atau memberikan makanan kepada sanak saudara dan tetangga. Makanan yang diberikan kepada sanak saudara dan tetangga ini sangat mewah sekali menurut ukuran orang kampung. Orang kampung biasanya menyembelih ayam ketika maleman tiba dan dibagikan kepada sanak saudara baik dekat maupun jauh serta tetangga. Dulu ketika maleman tiba sangat ramai sekali orang mengantar wewehan kepada sanak saudara. Mungkin tradisi ini sekarang sudah agak berkurang karena seiring perubahan waktu dan orang begitu sibuk sehingga tidak lagi kenal dengan tradisi maleman. Sebagai gantinya mungkin sekarang acara buka bersama yang dilakukan oleh para milineal. Akan tetapi buka bersama yang dilakukan oleh para milineal sangat berbeda dengan tradisi maleman. Nuansa maleman sangat agamis sementara buka bersama hanya makan bersama tanpa ada kegiatan yang bernuansa agama. Jangan sampai tradisi maleman yang baik ini hilang ditelan perkembangan zaman.