Tegalombo
Tegalombo adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Letak desa Tegalombo di Barat desa Kembang dan di Timur desa Puncel. Batas utara adalah pantai utara Jawa sementara batas selatan adalah dukuh Ngarengan Desa Puncel. Secara bahasa kata Tegalombo berasal dari dua kata yaitu tegal dan ombo. Tegal kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ladang dan ombo yang berarti luas. Jadi kata Tegalombo jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah ladang yang luas. Memang desa tegalombo ini penduduknya tidak sebegitu banyak. Masih dijumpai ladang yang luas untuk menanam tanaman tegalan. Desa Tegalombo terdiri dari 3 pedukuhan yaitu Krajan, Margorejo dan Tawangrejo. Tegalombo mempunyai 29 rukun tetangga dan 3 rukun warga. Mayoritas mata pencaharian penduduk Tegalombo adalah petani. Petani itu dibagi menjadi dua yaitu buruh tani dan petani pemilik lahan sawah atau ladang. Jumlah penduduknya sekitar 6.365 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sekitar 70% dari jumlah penduduk memeluk agama Kristen. Selebihnya beragama Islam. Wajar jika desa Tegalombo mayoritas penduduknya beragama Kristen karena dulu markas VOC Belanda ada di desa ini. VOC Belanda beragama Kristen dan mendirikan tempat ibadah di sekitar markasnya. Semua peninggalan Belanda masih berdiri sampai sekarang bahkan masih digunakan seperti gedung sekolah BOPKRI yang dulu merupakan rumah sakit Belanda. Ketika Belanda kalah perang dan meninggalkan Indonesia maka properti peninggalan Belanda diakuisisi oleh yayasan Kristen. Semua peninggalan Belanda diambil alih oleh yayasan Kristen. Ada wilayah yang dimiliki oleh yayasan Kristen dan didiami oleh masyarakat yang semua harus beragama Kristen namanya pasemuhan. Siapapun yang menempati wilayah ini harus mengikuti agama Kristen karena menurut mereka wilayah ini adalah milik gereja alias milik yayasan Kristen. Adapun rumah ibadah terdiri dari 2 masjid, 5 gereja dan 8 musholla.
Kepala desa Tegalombo sekarang adalah seorang muslimah yang taat namanya Sumijah. Sumijah sebelum menjadi kepala desa adalah seorang guru madrasah Ibtidaiyah di desa tersebut. Sumijah juga pernah menjadi calon anggota lesislatif dari PDIP. Asal usul desa Tegalombo masih simpang siur seperti kebanyakan asal usul desa lainnya. Tidak ada sumber pasti terkait asal usul berdirinya desa ini. Versi tokoh tua desa mengatakan bahwa asal-usul berdirinya desa Tegalombo tidak terlepas dari seorang penyebar agama Islam dari Serang provinsi Banten yang kemudian dikenal dengan Ki Gede Tegalombo. Ki Gede Tegalombo mempunyai 3 orang anak yaitu Ki Brojoseti, Ki Brojonoto dan Raden Ayu Retno Kencono. Ki Brojoseti kemudian hidup di desa sebelahnya yaitu Dukuhseti dan merupakan tokoh penyebar agama Islam di desa Dukuhseti. Makam Ki Brojoseti sampai sekarang masih ada, sering diziarahi orang dan dianggap sebagai pendiri desa Dukuhseti. Sementara Ki Brojonoto pergi ke desa yang lebih jauh yaitu Bulumanis Lor kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Desa Bulumanis Lor ini berdekatan dengan desa Bulumanis Kidul, Kajen dan Cebolek Kidul yang semuanya berada di wilayah administrasi kecamatan Margoyoso. Adapun Raden Ayu Retno Kencono dipinang oleh Joko Selining yang beragama Budha. Joko Selining ini adalah anak dari Tunggul Wulung yang bertempat di Desa Banyutowo. Retno Kencono menolak dipinang oleh Joko Selining karena beda agama. Kemudian Retno Kencono mengikuti kakaknya Ki Brojoseti di desa Dukuhseti sampai meninggalnya. Makamnya pun di sebelah makam Ki Brojoseti. Ketika memperingati berdirinya desa Tegalombo atau disebut dengan kabumi, tokoh, aparat dan masyarakat desa membacakan asal-usul desa ini. Mengapa masyarakat Desa Tegalombo mayoritas memeluk agama Kristen? Secara historis awal mula wilayah desa Tegalombo masuk dalam kekuasaan Majapahit atau jauh sebelumnya masuk kekuasaan Ratu Sima dari kerajaan Kalingga (Keling) Jepara. Ratu Shima ini masih keturunan wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa. Kerajaaan Kalingga ini berpusat di Kecamatan Keling sekarang. Sekitar 25 km dari Desa Tegalombo. Kemudian setelah Ratu Shima meninggal, wilayah Tegalombo dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Setelah kerajaan Majapahit mundur, muncullah Kerajaan Demak maka wilayah desa Tegalombo dikuasai oleh kerajaan Demak yang beragama Islam. Setelah kerajaan Demak runtuh wilayah desa tegalombo berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Ketika masa Sunan Amangkurat I memerintah Kerajaan Mataram, dia menyerang kerajaan Giri dan menaklukkannya serta membunuh ribuan santri kerajaan Giri. Akan tetapi ada salah satu santri dari Sunan Giri tidak terima dengan penyerangan Sultan Amangkurat I yaitu Trunojoyo akhirnya menyerang balik kerajaan Mataram dan menguasai wilayah Mataram. Termasuk Desa Tegalombo berada dibawah kekuasaan Trunojoyo. Kerajaan Mataram tidak terima dengan serangan Trunojoyo ke wilayah Mataram kemudian Sunan Amangkurat II sebagai penerus dari Sunan Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan VOC Belanda untuk menyerang Trunojoyo. Perjanjian antara Sunan Amangkurat II dengan VOC Belanda terjadi pada tahun 1677 dan dikenal dengan Perjanjian Jepara. Adapun isi perjanjian Jepara ini adalah:
Amangkurat II harus membayar tinggi kepada VOC
Amangkurat II memberikan sebagian wilayahnya kepada VOC
Amangkurat II menyerahkan daerah di pantai utara Jawa ke VOC jika Trunojoyo berhasil dikalahkan.
Ternyata Trunojoyo bisa dikalahkan oleh VOC maka Amangkurat II harus menepati janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayahnya kepada VOC termasuk Pantai Utara Jawa mulai dari Kerawang sampai ujung Timur pulau Jawa. Berangkat dari sinilah VOC Belanda menguasai pantai utara Jawa dan markas besar VOC Belanda di pantai utara Jawa untuk wilayah Pati dan Jepara berada di Desa Tegalombo. Ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan VOC Belanda. Markas tentara yang didirikan di Desa Tegalombo dilengkapi dengan berbagai fasilitas mulai dari tempat ibadah, pasar, pabrik, rumah sakit, pendidikan dan lain sebagainya. Komplek VOC Belanda sangat lengkap waktu itu. Saat Belanda menguasai daerah pantai utara inilah agama Kristen berkembang pesat. Kemudian setelah Belanda kalah perang, mereka kembali ke negaranya dan meninggalkan banyak peninggalan yang kemudian diurus oleh yayasan Kristen.
Kehidupan masyarakat Desa Tegalombo sangat harmonis. Mereka saling tolong menolong walaupun berbeda keyakinan. Sering ditemui dalam satu keluarga mereka berbeda keyakinan. Pembangunan infrastruktur di desa Tegalombo sudah lumayan maju. Akses jalan desa diperbaiki dan saluran air ditata sehingga ketika hujan air bisa langsung menuju laut. Topografi desa Tegalombo berupa dataran rendah yang ketika musim penghujan sering dilanda banjir. Akan tetapi banjir tersebut hanya sebentar karena merupakan banjir bandang yang airnya berasal dari wilayah pegunungan. Pertanian desa Tegalombo sangat maju karena merupakan daerah aluvial yaitu bertemunya aliran sungai dari beberapa aliran sungai kecil. Pertemuan beberapa aliran sungai ini membawa berkah tersendiri bagi warga desa Tegalombo karena membawa tanah dari pegunungan yang subur dan mengendap di desa Tegalombo. Mayoritas warga desa Tegalombo menanam padi. Hasil panen padi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada pasar yang berlokasi di wilayah desa Tegalombo akan tetapi bukan milik pemerintah desa Tegalombo yaitu pasar pendetan yang dimiliki oleh pemerintah Desa Puncel. Disebut pasar pendetan karena dahulu yang mendirikan pasar ini adalah para pendeta Belanda. Tidak tahu asal muasalnya kenapa pasar yang terletak di desa Tegalombo ini dinamakan dan dimiliki oleh pemerintah desa Puncel.
Itulah sekelumit tentang desa Tegalombo Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati yang sampai saat ini belum ada sumber tertulis tentang asa-usul desa. Permasalahan besar bagi masyarakat desa kita adalah sangat terbatasnya sumber tertulis untuk mengetahui seluk beluk tentang desa. Tradisi tulis-menulis baru dikenal di lingkungan keraton dan belum dikenal oleh masyarakat di luar keraton. Prasasti dan berbagai macam serat ditulis oleh pujangga keraton dan menceritakan hanya sebatas kehidupan keraton. Belum ada prasasti atau serat yang menulis tentang asal-usul desa di setiap wilayah yang dikuasai keraton. Tradisi yang berkembang di masyarakat luar keraton adalah tradisi foklor alias tradisi lisan. Tradisi lisan harus benar-benar dicek keasliannya dan dicros cek dengan sumber lisan lainnya. Mengapa harus dicros cek dengan sumber lainnya karena bisa jadi si pembawa folklor menyampaikan tidak sesuai dengan sumber pertama sehingga keotentisitas dan keorisinalitasnya dipertanyakan. Sudah saatnya aparat desa dann tokoh desa membukukan semua hal yang terkait dengan kondisi desa agar generasi yang akan datang bisa mengetahui sejarah desa dengan cara membaca tulisan tersebut.