Kemiskinan dan Pinjol
Hari ini salah satu portal berita online, CNBC memberitakan bahwa syarat bisa hidup aman di Jakarta harus mempunyai pendapatan minimal Rp. 15.000.000,-. Memang CNBC tidak menyebutkan secara jelas besaran pendapatan tersebut. Dalam berita tersebut dipaparkan secara jelas kebutuhan minimal rumah tangga yang harus dikeluarkan dalam sebulan. Pengeluaran minimal yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga adalah Rp. 14.880.000,- dalam sebulan. Jika Upah Minimum Regional sebesar Rp. 5.400.000,- maka dipastikan rumah tangga tersebut berada dibawah garis kemiskinan. Bagaimana mau hidup aman jika dalam sebulan pendapatan hanya 5 jutaan sementara pengeluaran 14 jutaan. Masih menurut CNBC bahwa hitungan pengeluaran minimal rumah tangga di Jakarta tersebut dirilis oleh BPS pada tahun 2024. Kondisi ini menguatkan bahwa standar yang dipakai BPS dalam menghitung angka kemiskinan di Indonesia sangat tidak tepat. Bahkan standar menurut Bank Dunia juga belum tepat.
Kondisi yang digambarkan oleh CNBC tersebut tidak jauh beda dengan kondisi kota besar lainnya di Indonesia. Walaupun tidak sama akan tetapi ada kemiripan. Ini menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia memang luar biasa banyak. Wajar saja jika banyak dijumpai di kota besar kita pemukiman kumuh di pinggiran kota seperti di pinggir aliran sungai, dibawah kolong jembatan dan dipinggir-pinggir pagar pabrik besar. Mengapa ada perkampungan kumuh seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan karena mahalnya hidup di kota besar. Untuk kalangan orang miskin yang tidak punya akses pekerjaan formal mereka lebih memilih hidup menjadi pekerja informal seperti menjadi pemulung, parkir ilegal, pedagang eceran dan lain sebagainya. Sementara bagi warga miskin yang bisa mengakses pekerjaan formal lebih memilih menjadi buruh pabrik, pegawai rendahan dan lain sebagainya. Untuk menutupi kekurangan pengeluaran bulanan, mereka biasanya berpaling ke jasa pinjaman online maupun offline. Lihatlah laporan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia) tahun 2024 sebanyak 129 juta warga Indonesia telah memanfaatkan layanan fintech -pinjaman- dengan total penyaluran dana mencapai Rp. 874,5 Triliun.
Jasa pinjaman memang menjadi primadona bagi warga miskin untuk menutupi kekurangan kebutuhan mereka. Lihatlah di pasar tradisional tiap hari pegawai jasa pinjaman atau sering disebut dengan bank plecit mendatangi pedagang pasar untuk membayar angsuran mereka. Bank plecit ini didominasi oleh jasa pinjaman ilegal alias tidak terdaftar dan bahkan tidak mempunyai ijin operasional. Tidak hanya di pasar tradisional atau pasar rakyat saja akan tetapi bank plecit ini juga sudah menyebar ke pelosok desa. Bank Plecit diminati warga karena kemudahannya. Bagaimana tidak mudah? Tanpa syarat apapun mereka bisa mendapatkan pinjaman walaupun jasanya lebih banyak dibandingkan dengan bank resmi. Berbeda dengan pinjaman yang digulirkan oleh bank resmi. Bank resmi mensyaratkan adanya agunan, surat pernyataan pendapatan dan lain sebagainya. Prosedur dan persyaratan yang ribet membuat warga lebih memilih mengajukan pinjaman ke jasa pinjaman ilegal.
Warga tidak hanya pinjam ke pihak jasa pinjaman offline saja akan tetapi warga juga mengajukan pinjaman secara online -pinjol-. Total pinjaman online warga Indonesia tahun 2024 menurut OJK tembus Rp. 77,07 Triliun. Statistik ini menunjukkan bahwa warga Indonesia gemar meminjam. Motif gemar meminjam ini kemungkinan besar dilatarbelakangi karena faktor kemiskinan. Pinjaman online ini mayoritas menyasar ke ibu rumah tangga. Mengapa menyasar ke ibu rumah tangga? Karena ibu rumah tangga lah yang bertanggung jawab dalam urusan dapur rumah tangga.
Pinjaman warga Indonesia yang nyaris sepertiga APBN itu menunjukkan bahwa jaminan sosial yang diprogramkan pemerintah belum menyentuh pada pokok kemiskinan. Program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan belum tepat sasaran. Kondisi kemiskinan ini akan terus bertambah seiring kondisi ekonomi dunia yang semakin suram. Kalau pemerintah tidak segera mencarikan solusi kemiskinan saat ini maka angka kemiskinan di Indonesia akan semakin besar. Memang benar Indonesia masuk negara berpenghasilan menengah atas akan tetapi penghasilan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. 30% warga Indonesia yang berada di atas garis kemiskinan hanya 1% yang penghasilannya benar-benar masuk kategori penghasilan atas. 1% warga Indonesia itulah yang sebenarnya menguasai kekayaan Indonesia.
Semoga pemerintah segera menemukan solusi tepat untuk mengatasi kemiskinan ini.