Standar Kemiskinan
Bank Dunia mengumumkan mengubah standar kemiskinan yang sudah digunakan beberapa tahun untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah negara. Berdasarkan standar lama yang digunakan oleh Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan sebuah negara, sebanyak 60.3 persen atau 171 juta penduduk Indonesia masuk kategori dibawah garis kemiskinan. Standar lama yaitu PIP 2017 berdasarkan pada pengeluaran individu $2.15 dalam sehari, sementara standar yang baru $3. Jika menggunakan standar baru maka jumlah penduduk miskin di Indonesia naik menjadi 194 juta dari total jumlah penduduk 285 juta. Artinya ada kenaikan 23 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin.
Tentunya penghitungan data kemiskinan tiap negara tidak hanya berdasarkan pengeluaran harian mereka yang hanya $3 (sekitar Rp. 48.750 jika kurs dolar Rp. 16.250,-). Pengeluaran Rp. 50.000 sehari termasuk kategori di atas garis kemiskinan. Jika 50 ribu itu dikalikan 30 hari maka pengeluaran sebesar Rp. 1.500.000 dalam sebulan termasuk kategori di atas garis kemiskinan menurut Bank Dunia. Kategori Bank Dunia tersebut sebenarnya sudah sesuai kenyataan sekarang. Bahkan pengeluaran primer masyarakat dalam sebulan melebihi standar minimum Bank Dunia. Taruhlah kalau kita makan sehari 3 kali dengan harga sekali makan adalah Rp. 20.000 -untuk kota besar- maka dalam sehari mengeluarkan Rp. 60.000 untuk makan saja. Belum pengeluaran lainnya seperti untuk transportasi, beli pulsa, beli bbm dan lain sebagainya. Kalau ditotal dalam sebulan pengeluaran individu bisa mencapai lebih dari Rp. 1.800.000. Dari kenyataan ini berarti sebanyak 70% penduduk Indonesia belum makan sehari tiga kali. Memang kondisi sosial masyarakat Indonesia berbeda dengan kondisi sosial masyarakat negara lain. Penduduk Indonesia lebih kental dengan gotong royongnya sehingga kebutuhan masyarakat bisa ditanggung bersama. Kondisi masyarakat Indonesia memang unik. Jika ada tetangga yang tidak bisa makan maka dikasih makan bahkan dalam satu kampung bisa giliran memberikan makan penduduk yang tidak bisa makan.
Kenaikan standar kemiskinan Bank Dunia ini jelas akan berdampak dengan naiknya angka kemiskinan di dunia. Bagaimana dengan standar kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia? BPS dalam menghitung angka kemiskinan didasarkan pada pengeluaran tiap individu Rp. 595.242,- dalam sebulan. Artinya jika individu dalam sebulan pengeluarannya kurang dari standar tersebut termasuk kategori miskin. Jika lebih dari angka tersebut maka dikategorikan sebagai penduduk di atas garis kemiskinan. Apakah standar yang digunakan BPS tersebut rasional? Anda bisa menilai sendiri. Untuk kebutuhan primer makan saja dalam sehari jika menggunakan standar makan Rp. 20.000,- dibutuhkan Rp. 60.000 jika makan tiga kali, kalau makan 2 kali dibutuhkan Rp. 40.000,-. Jika sebulan membutuhkan Rp. 1.200.000 jika makan sehari dua kali. Artinya standar yang digunakan BPS sangat tidak masuk akal. Kalau sekali makan Rp. 10.000,- sebagaimana standar Makan Bergizi Gratis maka dalam sehari membutuhkan Rp. 30.000 jika makan tiga kali. Jika dihitung dalam sebulan membutuhkan Rp. 900.000,- jika makan tiga kali. Kalau makan sehari dua kali berarti membutuhkan Rp. 600.000,- dalam sebulan. Sangat tidak rasional. Mengapa BPS tidak mengubah standar tersebut menjadi lebih rasional. Perubahan standar penilaian angka kemiskinan sangat tergantung pada keputusan politik, karena begitu angka kemiskinan naik maka pemerintah dinilai gagal dalam mengentaskan kemiskinan.
Pemerintah santai saja menanggapi kenaikan standar penilaian angka kemiskinan Bank Dunia karena data Bank Dunia tidak berguna bagi pemerintah. Data yang digunakan oleh pemerintah adalah data BPS. Mungkin semua orang merasakan bagaimana orang berpendapatan 2 juta ternyata habis dalam sebulan untuk keperluan sehari-hari. Wajar saja karena saat ini harga-harga semakin mahal sementara pendapatan tidak naik. Bisa dibayangkan jika pendapatan 2 juta kemudian hanya untuk makan saja membutuhkan Rp. 1.200.000 -jika makan dua kali dalam sehari- maka sisanya hanya Rp. 800.000. Sisanya itu untuk beli bbm, transportasi, beli pulsa, beli keperluan rumah tangga. Jelas habis. Jika pendapatan 2 juta maka jangan harap bisa bikin rumah atau membeli sepeda motor. Inilah kenyataan di negara ini. Makanya jangan heran jika banyak warga negara Indonesia terjerat pinjaman online karena memang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pinjaman adalah kata yang realistis untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kemiskinan sudah terstruktur dalam kehidupan sehari-hari. Celakanya pemerintah cuek dengan kondisi seperti ini.
Kita tunggu apakah BPS akan merubah standar kemiskinan?