Murur
Walaupun penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M masih jauh akan tetapi Kementerian Agama sudah mengawali dengan melaksanakan mudzakarah perhajian Indonesia dimana hasil dari kegiatan ini dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan ketika penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M.
Permasalahan yang akan dihadapi jemaah haji Indonesia ketika pelaksanaan haji 1446 H/2025 adalah masalah mabit di Muzdalifah dan Mina. Deteksi dini permasalahan tersebut merupakan hasil evaluasi penyelenggaraan haji 1445 H/2024 M. Ada masalah yang perlu diselesaikan baik secara fiqh maupun regulasi terkait permasalahan di Muzdalifah dan Mina. Kejadian penyelenggaraan haji 1444 H/2023 M dimana banyak jemaah haji Indonesia yang meninggal karena ada masalah mabit di Muzdalifah. Ketika Mabit di Muzdalifah banyak jemaah haji Indonesia yang belum terangkut ke Mina sampai jam 14 siang Waktu Arab Saudi.
Muzdalifah sendiri adalah wilayah dimana jemaah haji wajib melaksanakan mabit setelah melaksanakan wukuf di Arofah. Setelah maghrib atau terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah jemaah haji diangkut ke Muzdalifah untuk melaksanakan mabit (bermalam) di Muzdalifah. Kondisi Muzdalifah adalah padang pasir yang tidak ada pepohonan maupun bangunan untuk berteduh kecuali hanya bangunan toilet. Toilet itupun sangat tidak layak jika dibandingkan dengan jumlah jemaah haji. Bangunannya sangat kecil dan jumlahnya pun tidak memadai. Airnya pun tidak ada. Mungkin sebelumnya ada akan tetapi habis setelah dipakai oleh jemaah haji. Untuk mabit di Muzdalifah, pemerintah Arab Saudi menyediakan beberapa karpet yang sudah digelar di Muzdalifah. Kalau untuk bermalam saja bagi jemaah haji tidak ada masalah karena belum ada matahari.
Luas Muzdalifah untuk jemaah haji Indonesia sekitar 82 hektar. Sementara jemaah haji reguler Indonesia sebesar 214 ribu. Kalau luas Muzdalifah 82 hektar dibagi jumlah jemaah haji Indonesia maka setiap orang hanya akan mendapatkan space sekitar 0,5 m. Bisa dibayangkan setiap jemaah hanya dapat ruang gerak 0.5 meter.
Tahun 2023 ada kejadian jemaah haji Indonesia tidak terangkut ke Mina sampai pukul 14 WAS. Bisa dibayangkan bagaimana panasnya saat itu. Atas matahari bawahnya padang pasir. Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan suhu sekitar 36 derajat harus rela berpanas-panasan dibawah matahari dengan suhu hampir 50 derajat. Anda bisa membayangkan sendiri bagaimana berjemur di bawah separo suhu air mendidih. Dehidrasi pasti. Celakanya tidak ada makanan maupun minuman yang disediakan oleh petugas. Ini adalah tragedi penyelenggaraan haji Indonesia sepanjang sejarah penyelenggaraan haji. Penyelenggaraan haji sebelumnya belum pernah ada kejadian seperti ini. Akibatnya banyak jemaah haji yang meninggal.
Atas tragedi tersebut pemerintah Indonesia memberikan masukan kepada pemerintah Arab Saudi untuk memperbanyak toilet di Muzdalifah. Pembangunan toilet oleh pemerintah Arab Saudi ternyata menyita luasan Muzdalifah yang semula 82 Ha menjadi 62 Ha karena pembangunan toilet memakan sekitar 20 Ha. Sehingga kalau dihitung luas Muzdalifah dengan jumlah jemaah haji Indonesia setiap individu hanya kebagian space 0.2 m. Sangat kecil sekali dan sangat tragis. Bagaimana bisa orang bergerak hanya dengan luasan 0.2 meter.
Akhirnya dicarilah jalan keluar masalah mabit di Muzdalifah. Ketemu. Solusinya adalah murur.
Murur adalah bahasa Arab yang artinya lewat. Maksud dari konsep murur adalah jemaah haji tidak mabit di Muzdalifah dan hanya sekedar lewat saja dengan kendaraan bus yang mengangkutnya menuju Mina. Teknisnya jemaah haji setelah wukuf di Arofah diangkut langsung menuju Mina. Dalam pelaksanaannya murur hanya dikhususkan pada jemaah haji lanjut usia (lansia) dan jemaah risti (resiko tinggi).
Tahun 2024 ada jemaah haji yang bilang bahwa dia tidak tahu Muzdalifa karena setelah wukuf di Arofah pada waktu maghrib langsung diangkut ke Mina. Bagi orang yang belum paham tentang mabit di Muzdalifah mungkin akan berkomentar tidak sah hajinya jika tidak bayar dam karena tidak mabit di Muzdalifah.
Hukum mabit di Muzdalifah memang terjadi perbedaan pendapat dalam fiqh. Ada yang mengatakan sunah dan ada yang mengatakan wajib. Mayoritas berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Jika tidak mabit di Muzdalifah maka harus bayar dam. Dam adalah denda karena melanggar ketentuan manasik haji. Secara harfiah dam adalah darah. Secara terminologi dam adalah denda yang harus dibayar oleh jemaah haji karena melakukan pelanggaran tertentu selama menjalankan ibadah haji atau umroh.
Untuk yang berpedoman bahwa mabit di Muzdalifah adalah sunah maka tidak ada masalah karena tidak mabit pun tidak ada masalah dan tidak membayar dam.
Bagi yang berpedoman hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib maka bagi orang yang tidak mabit di Muzdalidah harus membayar dam. Bagi yang berpedoman bahwa hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib maka waktu mabit di Muzdalifah dimulai dari tengah malam. Walaupun hanya sesaat atau satu detik harus berhenti di Muzdalifah. Itulah ketentuan mabit di Muzdalifah jika berpedoman hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib.
Hukum wajib mabit Muzdalifah bisa gugur karena ada udzur atau halangan. Ketika ada halangan maka hukum wajib mabit di Muzdalifah gugur dan tidak membayar dam. Kategori udzur itu salah satunya adalah resiko tinggi (sakit), lanjut usia dan petugas yang mengurusi orang sakit. Jika terpenuhi kategori udzur ini maka jemaah haji bisa langsung ke Mina tanpa harus mabit di Muzdalifah.
Adapun waktu menuju Mina pun tidak harus menunggu tengah malam.
Itu adalah salah satu hasil dari mudzakarah perhajian Indonesia tahun 2023 menyikapi masalah mabit di Muzdalifah.
Memang melaksanakan ibadah itu harus aman dan nyaman. Beragama itu mudah dan jangan dipersulit. Itulah kaidah fiqh yang dipegangi oleh para pemikir Islam.
Semoga dengan adanya solusi murur untuk mabit di Muzdalifah selesai sudah masalah masalah mabit di Muzdalifah bagi jemaah haji Indonesia.