Kupatan
Kupatan adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan setelah 7 hari Hari Raya Idul Fitri. Setiap 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri masyarakat Jawa selalu membuat kupat yaitu makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus dengan daun kelapa muda atau janur. Bentuk kupat sendiri persegi empat. Kupatan dilaksanakan di masjid atau musholla secara bersama-sama dan didoakan oleh kyai atau pimpinan masjid atau musholla tersebut. Orang Jawa menyebutnya dengan bodo kupat atau hari raya kupat. Pelaksanaan kupatan berbeda antar daerah. Ada yang mengadakan pada malam hari ke-7 setelah hari raya Idul Fitri. Ada yang melaksanakan pagi hari yaitu ketika hari ke-7 dari hari raya Idul Fitri. Bodo kupat sendiri berasal dari bahasa Jawa bakdo kupat yang artinya setelah kupat. Kata bakdo sendiri kemudian menjadi bodo.
Asal muasal tradisi kupatan belum diketahui secara pasti. Akan tetapi menurut budayawan Zastrouw al-Ngatawi bahwa tradisi kupatan berasal dari era Walisongo. Tradisi kupatan dilakukan pertama kali pada masa Kerajaan Demak waktu dipimpin Raden Fatah. Makanan kupat terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda atau janur. Ada banyak filosofi dalam tradisi kupatan. Beberapa filosofi itu diantaranya adalah:
Kupatan berasal dari bahasa Arab kafatan yang artinya sempurna. Artinya pada hari ke-7 setelah hari raya Idul Fitri seseorang sudah sempurna melaksanakan puasa setahun penuh. Puasa setahun penuh itu merupakan puasa sebulan penuh Ramadhan kemudian ditambah dengan 6 hari puasa bulan Syawal setelah puasa Ramadhan. Puasa sebulan penuh Ramadhan kemudian dilanjut dengan 6 hari puasa sunah bulan Syawal maka seseorang disebut telah berpuasa penuh selama setahun sebagaimana sabda Rasulullah SAW Barang siapa puasa Ramadhan kemudian diikuti puasa 6 hari bulan Syawal (setelah puasa Ramadhan) maka orang tersebut sama saja puasa setahun. Ini praktek yang dilakukan oleh para kyai kampung dari zaman dahulu sampai sekarang.
Tradisi kupatan mengandung makna filosofis bahwa seseorang ngaku lepat (mengaku bersalah). Terminologi ngaku lepat berasal dari kata kupat. Setelah menjalankan puasa sebulan penuh kemudian ditambah 6 hari puasa bulan Syawal maka orang tersebut mengaku bersalah dan meminta maaf kepada sesama dengan diwujudkan dalam bentuk tradisi kupatan. Makanan kupat dibuat dari janur yang berasal dari bahasa Arab ja'a nurun (datang cahaya). Artinya seseorang setelah sebulan penuh puasa maka akan mendapatkan cahaya dan kembali bersih laksana bayi yang baru lahir. Kupat sendiri dianyam sedemikian ruwetnya sehingga berbentuk persegi empat yang menandakan bahwa perjalanan manusia di dunia ini berliku-liku dan kalau bisa mengatasi perjalanan tersebut akan berakhir dengan baik sesuai yang dikehendaki. Bentuk kupat persegi empat dimaknai sebagai 4 hawa nafsu yang harus diatasi oleh manusia yaitu nafsu amarah, nafsu memaksa diri, nafsu memuaskan rasa lapar dan nafsu memenuhi segala yang indah. Menikmati makanan ketupat biasanya dibarengi dengan sayur opor yang terbuat dari santen. Sayur yang terbuat dari santen dimaknai bahwa seseorang punya salah (ngaku lepat) kemudian minta maaf atau pangapunten.
Makna filosofi tradisi kupatan lainnya adalah kata kupat mempunyai arti laku papat (melakukan empat hal) yaitu: lebaran, luberan, leburan dan laburan. Maksud dari lebaran adalah tindakan yang telah selesai dilakukan. Selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kemudian bebas menikmati makanan. Maksud luberan adalah meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas. Maka dari itu ketika hari Raya Idul Fitri membagikan sedekah adalah kebiasaan yang dijumpai di masyarakat Jawa. Makna leburan adalah lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan. sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir. Makna laburan adalah berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga prilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Itulah beberapa makna filosofis tradisi kupatan yang dirayakan setalah 7 hari dari hari Raya Idul Fitri. Tradisi Jawa memang penuh dengan makna filosofis. Tradisi kupatan masih dirayakan oleh masyarakat Jawa sampai saat ini. Memang sekilas tradisi ini kelihatan kuno akan tetapi sarat makna. Yang lebih mengesankan ketika merayakan tradisi kupatan adalah dilakukan secara bersama-sama, guyup, rukun dan saling membantu antar sesama. Sangat jarang sekali di jaman seperti sekarang ini kumpul bersama apalagi dibarengi dengan makan bersama dengan maksud saling memaafkan. Mungkin bentuknya sekarang sedikit berbeda yaitu dikemas dalam bentuk halal bi halal. Akan tetapi halal bi halal tidak seperit tradisi kupatan karena halal bi halal hanya untuk kalangan tertentu bukan untuk umum. Misal halal bi halal untuk keluarga bani A atau keluarga RT berapa. Tradisi kupatan ini harus selalu dilestarikan karena mempunyai tujuan baik.