Hak Angket
Hak angket adalah hak istimewa DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asal usul hak angket ini berasal dari Inggris pada abad ke-19 yang hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan dalam administrasi pemerintahan. Di Indonesia hak angket diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fungsi Hak angket adalah untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Menyelidiki pejabat negara atau pemerintahan, badan hukum atau warga yang tidak memenuhi panggilan DPR setelah tiga kali pemanggilan berturut-turut tanpa alasan sah. Menyelidiki pejabat negara atau pemerintahan yang mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR terkait kepentingan bangsa dan negara.
Hak angket digunakan oleh DPR sejak bergulirnya reformasi. Tercatat hak angket pernah digunakan dalam kasus Buloggate dan Bruneigate yang berakibat dilengserkannya Presiden Republik Indonesia ke-4 yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Selain kasus di atas hak angket juga pernah digunakan oleh DPR ketika ada masalah Kasus Bank Century (2009), Kasus Pertamina (2012), Kasus KPK (2017) dan kasus Jiwasraya (2020). Hasil dari hak angket dalam kasus tersebut tidak jelas dan hanya rekomendasi saja. Saat ini ada usulan untuk menggunakan hak angket DPR terkait dengan kasus Pemilihan Umum 2024 yang dinilai curang oleh beberapa orang atau partai atau lembaga. Pesta demokrasi lima tahunan tersebut walaupun telah usai dan masih dalam tahap rekapitulasi suara sudah dinilai curang oleh beberapa orang ataupun partai. Dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut menurut hitung cepat beberapa lembaga survei pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan calon 02 yaitu pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabumingraka. Berawal dari hasil hitung cepat inilah kemudian pasangan nomor 3 yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD menggulirkan penggunaan hak angket terkait kecurangan pemilu 2024. Sementara pasangan nomor urut 1 masih belum bersuara terkait penggunaan hak angket di DPR ini. Dalam UU Pemilu sudah diatur bahwa jika ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu bisa diadukan atau digugat di mahkamah konsitusi bukan di DPR. Isu yang dilontarkan adalah kecurangan dalam pemilihan presiden saja bukan pemilihan legislatif. Kalau yang disorot hanya kecurangan pemilihan presiden saja maka tidak fair karena pemilu 2024 adalah pemilu serentak dan satu paket yaitu pemilihan presiden, pemilihan legislatif dan pemilihan dewan perwakilan daerah. Jika hak angket digulirkan maka yang dibahas tidak hanya kecurangan pemilihan presiden saja akan tetapi juga pemilihan legislatif dan pemilihan dewan perwakilan daerah juga. Tidak fair jika yang dibahas hanya kecurangan pemilihan presiden saja. Pasangan yang getol menggulirkan hak angket adalah pasangan Gofud yang kelihatan sekali tidak terima dengan kekalahan yang dideritanya. Pasangan ini didukung oleh PDI-P dan PPP. Secara prosentase kursi DPR dari kedua partai hanya sekitar 23%. Kalau tidak didukung oleh partai lain maka secara hitungan matematika akan kalah. Jika partai pendukung pasangan nomor urut 1 ikut serta dalam hak angket maka bisa jadi pertarungan di DPR akan sengit karena prosentase jika digabung antara partai pengusung pasangan nomor urut 1 dan 3 sebesar sekitar 50%. Mari kita lihat fakta saat ini terkait partai yang mendukung penggunaan hak angket DPR dalam menyikapi kecurangan pemilu 2024 khususnya pemilihan presiden.
PDI-P, PKS, Nasdem dan PKB sangat jelas mendukung penggunaan hak angket ini. Sementara PPP belum menentukan sikap terkait penggunaan hak angket dan melihat gelagatnya PPP akan menolak penggunaan hak angket ini. Sementara partai pendukung pasangan calon nomor urut 2 yaitu Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN jelas menolak penggunaan hak angket. Suara keempat partai pendukung pasangan calon nomor urut 2 tersebut sekitar 49,5 % di DPR. Masih menunggu sikap dari PPP. Kalau PPP menolak penggunaan hak angket maka prosentase partai yang menolak penggunaan hak angket menjadi sekitar 54% karena suara PPP sekitar 4,5%. Tentunya jika PPP menolak penggunaan hak angket maka ada transaksi politik yang harus dibayar oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Kita akan menunggu babak penentuan penggunaan hak angket ini. Dalam rapat paripurna kemarin sebelum puasa Ramadhan tidak dibahas tentang hak angket dan banyak anggota dewan yang tidak hadir dalam sidang paripurna.
Kengototan Ganjar Pranowo untuk menggunakan hak angket dalam menyelidiki kecurangan pilpres kali ini sangat ambisius sekali karena hasil dari hak angket bisa melengserkan presiden sekarang yaitu Joko Widodo sebagai penanggung jawab pemerintah. Sebenarnya hak angket tidak mempengaruhi hasil pemilihan umum akan tetapi bisa melengserkan presiden sebagai penanggung jawab roda pemerintahan sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pelengseran Gus dur dari kursi kepresidenan karena adanya Buloggate dan Bruneigate. Apakah benar hak angket bisa melengserkan presiden sekarang? Kita lihat faktanya:
Hak angket didukung oleh anggota DPR yang merupakan nota bene wakil rakyat.
Kinerja presiden Joko Widodo sangat memuaskan rakyat dengan prosentase sekitar 74,3%.
DPR mendapatkan kepercayaan publik sekitar 64% sementara lembaga kepresidenan 86%.
Kinerja DPR hanya mendapatkan nilai 52% dari masyarakat.
Dari data di atas sangat jelas bahwa lembaga DPR tidak mendapatkan kepercayaan di mata masyarakat. Sementara lembaga kepresidenan dan kinerja presiden sangat baik di mata masyarakat. Ada beberapa kemungkinan jika memang hak angket digunakan oleh DPR yaitu:
Kepercayaan rakyat terhadap DPR akan semakin menurun.
DPR akan berhadapan langsung dengan yang diwakilinya.
Partai pendukung hak angket akan ditinggalkan pemilihnya.
Seharusnya pasangan calon yang sudah kalah legowo dengan kekalahannya bukan membuat gaduh dengan kekalahannya itu. Kalau kecurangan pilpres diusut maka kecurangan pileg juga harus diusut. Kalau misalnya pemilu diulang biayanya dari mana? Kalau jawabannya biaya negara apakah semua petugas pemilu siap menjalankan pemilu ulang sementara di beberapa TPS yang pencoblosannya diulang pasangan 03 selalu kalah. Apakah kalau pemilu diulang akan menjamin pemilu tidak curang. Kasihan kalau pemilu diulang karena caleg yang selama ini sudah berdarah-darah dan mengeluarkan biaya untuk pileg akan mengeluarkan biaya lagi. Apakah pasangan calon nomor 3 tidak melihat bagaimana begitu maraknya bagi-bagi uang oleh para caleg di masyarakat. Biaya menjadi legislatif tidak cukup 4 M untuk perwakilan daerah tingkat dua. Saya yakin jika pemilu diulang perolehan suara PDI-P sebagai inisiator hak angket akan lebih terjun bebas. Saya sarankan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 legowo saja karena kalau memang hak angket digunakan dan yang diusut tidak hanya kecurangan pemilihan presiden akan tetapi juga pemilihan legislatif maka akibatnya akan menimpa partai pengusung paslon nomor urut 3. Silahkan direnungkan dan dipikir secara jernih sebelum hak angket digulirkan. Jangan hanya emosi sesaat simpati publik hilang toh suara yang didapat oleh pasangan calon nomor urut 3 menurut hitung cepat cuman 16%. Kalau pemilu diulang saya yakin suara 16% itu akan turun drastis karena rakyat sudah tidak simpatik terhadap pasangan calon nomor urut 3.