Penghulu Era Demokrasi
Dalam masa demokrasi ini calon pengantin disarankan untuk daftar nikah secara online dan diurus sendiri. Salah satu alasan yang mendasari agar calon pengantin mengurus sendiri berkas pendaftaran nikah secara online dikhawatirkan adanya pembengkakan biaya pendaftaran nikah. Pendaftaran nikah harus diurus sendiri begitulah pesan dan anjuran kepada calon pengantin dari Kementerian Agama. Kantor Urusan Agama sebagai tempat untuk pendaftaran nikah hanya akan memverifikasi dan memeriksa berkas sekaligus calon pengantin dan walinya. Penghulu sebagai petugas yang diamanati untuk memeriksa dan memverifikasi berkas nikah sekaligus calon pengantin dan walinya harus benar-benar jeli memeriksa asal usul calon pengantin. Penghulu hanya berdasarkan pada data berkas nikah yang didaftarkan oleh calon pengantin. Berkas pendaftaran nikah sebagaimana dalam PMA nomor 20 tahun 2019 pasal 4 diantaranya adalah pengantar dari desa (model N1), foto copy akta kelahiran atau surat kenal lahir, foto copy ktp, foto copy kartu keluarga, akta cerai jika janda atau duda hidup, akta kematian jika janda atau duda mati, surat persetujuan mempelai (model N4), surat ijin kedua orang tua jika dibawah 21 tahun, dispensasi umur dari pengadilan jika dibawah 19 tahun, surat ijin kawin dari kesatuan jika TNI/Polri. Sekilas persyaratan pendaftaran nikah ini sangat rumit dan tidak mudah. Persyaratan pendaftaran nikah sudah diatur dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang direvisi menjadi UU nomor 16 tahun 2019 dan PMA nomor 20 tahun 2019. Ada beberapa pihak yang menginginkan penyederhanaan berkas persyaratan nikah yaitu cukup foto copy KTP, foto copy KK dan foto copy akta kelahiran. Jika memang menginginkan penyederhanaan maka harus mengubah UU No 16 tahun 2019 dan PMA nomor 20 tahun 2019. Dengan berkas yang sesederhana itu menurut mereka sudah cukup dan mempermudah pasangan untuk menikah.
Menurut beberapa penghulu sebagai petugas lapangan, persyaratan pendaftaran nikah yang sudah diatur dalam regulasi masih belum memadai. Mengapa? Masalah asal usul anak yang terdapat dalam akta kelahiran ataupun surat pengantar dari desa model N1 terkadang tidak sesuai dengan fakta. Mungkin ini kasuistik akan tetapi sering terjadi. Apalagi kalau calon pengantin mendaftar sendiri tanpa didampingi oleh lebay atau modin atau petugas desa. Kalau di perkotaan mungkin sudah tidak ada lagi modin, lebay atau petugas desa dan penghulu hanya mengandalkan berkas pendaftaran nikah. Beberapa hal yang sering dijumpai dalam pemeriksaan dan verifikasi berkas pendaftaran nikah sebagai berikut:
Nama orang tua dalam akta kelahiran bukan orang tua kandung akan tetapi orang tua angkat.
Jika ayah meninggal dunia sementara calon pengantin perempuan tidak kenal lagi dengan sanak keluarganya maka akan menimbulkan masalah dalam penentuan wali.
Dua contoh diatas sudah bisa menggambarkan bagaimana rumitnya petugas nikah ketika memverifikasi berkas calon pengantin apalagi harus menentukan wali nikah. Belum lagi jika ada pendapat jika anak pertama perempuan dan kelahirannya kurang dari 6 bulan dari pernikahan orang tuanya maka walinya harus wali hakim (tapi pendapat ini sering diabaikan oleh petugas nikah karena ada pedoman dalam Kompilasi Hukum Islam). Pemeriksaan nikah yang agak rumit ketika menentukan wali nikah. Jika orang tuanya berdasarkan akta kelahiran orang tua kandung maka langsung orang tua kandung (ayah kandung) sebagai wali nikah. Menjadi masalah jikalau orang tua yang tertera dalam akta kelahiran adalah orang tua angkat sementara orang tua angkat menutupi asal usul anaknya dan anaknya juga tidak tahu orang tua kandungnya. Dalam sistem hukum Islam urutan wali nikah sudah diatur yaitu:
Ayah kandung
Kakek (ayah dari ayah kandung)
Buyut (ayah dari kaken kandung)
Saudara laki-laki sekandung
Saudara laki-laki sebapak
Paman kandung (saudara laki-laki kandung dari ayah kandung)
dst...
Wali adalah salah satu rukun nikah jikalau salah menentukan wali maka nikahnya tidak sah alias fasid. Kondisi lapangan tidak semudah seperti memutuskan persyaratan berkas nikah yang semudah itu. Inilah tantangan penghulu di era demokrasi. Pernah ada kasus dimana nama orang tua akta kelahiran ternyata dicantumkan orang tua angkat ketika diverifikasi anak tersebut mengaku bahwa nama orang tua dalam akta kelahiran bukanlah nama orang tua kandung sementara orang tua kandungnya menurut pengakuan si anak sudah meninggal dan tidak tahu apakah punya saudara atau tidak. Kalau hanya mencukupkan pada pengakuan si anak maka penghulu langsung bisa mengambil keputusan pakai wali hakim. Ada lagi kasus yang menjadi wali bukan orang tuanya yang tercantum dalam akta kelahiran. Istilahnya ambil wali dari pinggir jalan. Belum lagi ada manipulasi data calon pengantin. Seumbruk pekerjaan rumah bagi penghulu sebagai petugas lapangan untuk memverifikasi berkas calon pengantin dan walinya. Memang kalau di negara semacam Amerika, Singapura, atau negara Barat lainnya masalah wali tidak menjadi masalah. Berbeda dengan negara Indonesia yang masih berdasarkan agama dalam kehidupannya karena ada UUD yang mengatur kehidupan warga negara. Jikalau pendaftaran nikah masih didampingi oleh modin, lebay atau petugas desa yang tahu betul asal-usul anak maka persoalan diatas bisa diminimalisir. Memang di era demokrasi ini husnudzon atau positif thingking harus banyak dikedepankan akan tetapi masalah keabsahan nikah harus benar-benar menjadi perhatian penghulu.
Masalahnya apakah cukup bagi penghulu dalam memeriksa dan memverifikasi data berdasarkan berkas nikah dan wawancara dengan calon pengantin dan walinya? Kalau ada kesalahan data maka harus dibenarkan kalau itu kesalahan dalam akta kelahiran maka harus dibenarkan dahulu sampai data itu benar. Timbul masalah lagi dalam pelaksanaan akad nikah. Dalam tradisi dan adat masyarakat untuk pelaksanaan akad nikah sudah ditentukan jauh-jauh hari. Ketika ada masalah dalam berkas nikah dan tidak jadi menikah sesuai hari yang sudah ditentukan sebelumnya maka akan timbul masalah. Penghulu juga harus memahami psikologi dan sosiologi masyarakat. Penghulu era demokrasi harus lihai memadukan antara demokrasi dan adat istiadat masyarakat. Jika tidak maka pelayanan itu berada di ruang kosong masyarakat. Ingat mayoritas masyarakat kita belum siap untuk menuju masyarakat demokratis yang serba egaliter penuh kebebasan akan tetapi masyarakat kita masih berpegang pada nilai-nilai leluhur yang sudah menjadi pedoman hidup selama ini.