Oklik Bojonegoro
Tiap menjelang bulan puasa Ramadhan atau wulan poso anak-anak kecil di kabupaten Bojonegoro membuat oklik yaitu kentongan dari bambu yang dikasih lubang agar kalau dipukul keluar bunyi nyaring. Oklik digunakan untuk membangunkan orang waktu sahur. Kebiasaan membuat oklik menjelang bulan puasa sampai sekarang masih dilakukan oleh anak-anak kecil apalagi anak yang sering ke musholla atau ke masjid. Dulu kegiatan membangunkan orang sahur ini dilakukan oleh anak-anak yang tidur di langgar dengan membawa oklik keliling desa. Tiap jam 12 malam sudah mulai berkeliling desa dan berakhir pada pukul 3 dini hari. Selain ada oklik juga ada istilah tedur. Tedur atau tidur adalah bahasa Jawa yang artinya memukul bedug dengan irama tertentu untuk membangunkan orang sahur. Biasanya sebelum keliling dengan oklik diawali tedur kemudian dilanjut dengan oklik keliling desa. Start oklik adalah di masing-masing langgar dan berakhir di langgar tersebut. Dulu kegiatan oklik ini dilakukan oleh kelompok langgar. Jika dalam satu desa ada 2 atau 3 langgar maka ada 2 atau 3 kelompok oklik keliling desa. Tergantung masing-masing kelompok langgar apakah mengadakan oklik atau tidak.
Orang desa sangat mengapresiasi kegiatan oklik ini karena membangunkan orang untuk sahur. Bahkan keberadaannya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Dulu belum ada speaker atau pengeras suara dan juga belum ada listrik sehingga penanda makan sahur adalah jika ada kegiatan oklik atau tedur di masjid atau langgar. Jarang sekali orang yang bisa tedur karena harus memakai irama tertentu agar suaranya enak didengar dan teratur. Saya pernah belajar main tedur akan tetapi tidak semahir orang-orang tua. Tedur sekarang sudah tidak pernah dilakukan di langgar atau masjid karena jarang sekali ada bedug. Ketika kegiatan oklik dimulai semua anak-anak yang ada di langgar ikut serta dalam barisan oklik. Tidak jarang masih dalam keadaan kantuk harus ikut oklik keliling desa. Rute yang dilalui pun lumayan jauh karena harus keliling desa.
Sejarah oklik berawal pada zaman Belanda dimana saat itu daerah Bojonegoro dilanda pagebluk atau malapetaka. Pagebluk itu berupa penyakit yang mematikan, banyak perampok dan pencuri. Pagebluk itu sulit diatasi akhirnya ada salah satu warga yang berusaha mencari "Srono" atau obat pagebluk dengan bertapa selama 1 bulan. Dari pertapaan, satu warga tersebut mendapatkan 6 jawaban untuk memutus berlangsungnya masa pagebluk. Keenam wejangan yang diterima yakni agar seluruh warga membuat bunyi-bunyian dari bambu, kemudian dipukuli mengelilingi kampung, lalu disarankan untuk membersihkan kali, menanam kunir, mendirikan "Cakruk" atau pos kampling terakhir disuruh membuat lampu "Teng" atau teplok. Tanpa pola, waktu itu warga hanya membuat tong-tongan dari bambu. Ada yang dikasih lubang ada juga yang tidak, asalkan menghasilkan bunyi. Akhirnya pencuri, perampok dan pagebluk berhenti. Kegiatan masih berlanjut meskipun pagebluk sudah hilang hingga akhirnya dibuat media berkumpul di Cakruk. Berlanjut sampai menjadi kebiasaan tiap malam dibunyikan, untuk patroli kemudian. Berkembang ada yang joget kemudian nembang kemudian dibuatkan cerita pahlawan dan perjuangan. Istilah nama oklik sendiri diambil dari hasil bunyi bambu yang dipukul, tong-tong-klek,
Seiring berjalanya waktu, dari ritual pengusir pagebluk hingga menjadi kebiasaan warga, kemudian berkembang menjadi tontonan rakyat. Berkembang suatu irama bunyi dan kostum oklik, yakni ada irama sesek, lambat, cuekan dengan kostum kaos putih, jarik ditalikan, baju hitam tanpa dikancing, komprang dan udeng saat pementasan. Oklik sekarang sudah dipatenkan menjadi hak kekayaan intelektual (HAKI) Kabupaten Bojonegoro. Oklik sekarang berkembang tidak hanya memakai potongan bambu saja akan tetapi ditambah dengan alat musik lain seperti kendang, bonang, saron, gong, demung dan lain sebagainya. Tiap malam bulan puasa ketika waktu sahur pasti ada kelompok oklik keliling desa membunyikan alat-alat musik ini tentunya tanpa sound system. Kesenian oklik ini merupakan kesenian rakyat. Jika tidak ada alat musik yang dikehendaki yang penting ada kentongan bambu kegiatan oklik tetap jalan. Untuk alat musik lain bisa digunakan dari bahan lain sebagai penggantinya seperti drum besar dari plastik sebagai ganti gong dan lain sebagainya.
Bulan puasa menjadi bulan paling meriah ketika waktu sahur. Kelompok oklik akan keliling desa membangunkan warga untuk makan sahur. Tidak jarang kelompok oklik ini menyanyikan lagu yang terkenal atau viral tentunya tanpa suara manusia hanya instumental saja. Untuk memainkan alat musik modifikasi oklik, anak-anak harus mengetahui sistem not lagu. Biasanya hanya satu orang yang paham dalam kelompok oklik ini, lainnya hanya mengikuti. Yang paling penting bagi mereka adalah membangunkan orang untuk makan sahur. Silahkan anda pergi ke Bojonegoro ketika bulan puasa maka akan dijumpai oklik keliling desa. Kelompok oklik ini selain untuk membangunkan orang untuk makan sahur juga sebagai hiburan gratis bagi warga. Pemerintah daerah pun mengadakan lomba kreatifitas oklik tiap bulan puasa. Lomba oklik dimulai setelah sholat tarawih keliling kota Bojonegoro dan berakhir waktu sahur. Kalau anda penasaran dengan oklik Bojonegoro silahkan dicari aja di Youtube kemudian ketikkan oklik Bojonegoro.