Jogetan berbuah Aksi
Aksi massa di depan gedung DPR RI, 25 Agustus 2025 berakhir ricuh. Sudah diduga setiap aksi massa akan berakhir ricuh. Memang begitulah aksi massa itu. Sangat jarang sekali aksi massa damai dan tidak ada kericuhan apapun. Aksi massa tanpa kericuhan hanya bisa dilakukan oleh mendiang Mahatma Gandi dan gerakan sejuta massa Mei 1998 di Jogjakarta yang diinisiasi oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (Fampera) sebelum Soeharto lengser. Aksi massa di depan gedung DPR RI kemarin tak satupun disiarkan atau di beritakan oleh televisi nasional. Bahkan terkesan televisi menutupi aksi massa tersebut. Acara televisi sekarang hanya dipenuhi dengan drama, sinetron atau pengajian. Televisi sekarang tidak lagi menyiarkan aksi demontrasi mahasiswa dan rakyat yang menuntut ketidakadilan dan ketidakbecusan pemerintah saat ini. Sangat kelihatan sekali, semua saluran televisi nasional sudah terkooptasi dengan kekuasaan. Tidak hanya stasiun televisi saja akan tetapi portal berita baik online maupun offline juga tidak ada yang memberitakan aksi massa di depan gedung DPR RI kemarin. Kalau pun ada pemberitaan hanya sekilas saja seperti running teks atau berita singkat. Ini menunjukkan betapa penguasa saat ini sangat membatasi peran media untuk melakukan kegiatan jurnalistik yang bebas dan bertanggungjawab. Saya menduga ini merupakan taktik dari penguasa saat ini untuk membungkam peran media. Seharusnya media menjadi pilar demokrasi keempat setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Media adalah alat strategis untuk menyuarakan suara rakyat yang tidak bisa diwakili oleh perwakilan mereka.
Kembali ke aksi massa di depan gedung DPR RI. Aksi massa ini dipicu oleh jogetan dan kenaikan tunjangan DPR RI yang fantastis menurut ukuran rakyat. Bagaimana tidak fantastis? Tunjangan rumah saja 50 juta per bulan. Tunjangan beras Rp. 12 juta per bulan belum lagi tunjangan transportasi dan lain sebagainya. Ada anggota DPR RI yang mengatakan bahwa tiap hari anggota DPR RI digaji Rp. 3 juta artinya tunjangan ini melebihi UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) mayoritas kabupaten/kota se-Indonesia. Rata-rata UMK tiap Kabupaten adalah Rp. 2-3 juta per bulan. Artinya tunjangan Rp. 3 juta per hari melebihi upah buruh sebulan. Sangat kontras sekali dengan kondisi rakyat yang diwakilinya. Ironisnya kenaikan tunjangan tersebut disambut dengan suka cita dengan berjoget bersama seluruh anggota DPR RI. Nir etika dan nir empati. Begitulah orang waras melihat jogetan anggota DPR RI merayakan kenaikan tunjangannya di saat kondisi ekonomi rakyat terpuruk.
Wajar saja jika ada rakyat yang memprotes tindakan anggota DPR RI ini. Mereka adalah wakil rakyat seharusnya mengetahui kondisi rakyat saat ini. Bukan mereka malah jogetan karena merayakan kenaikan tunjangan. Walaupun aksi massa kemarin tidak diliput oleh media nasional akan tetapi media sosial melaporkan secara langsung aksi massa tersebut. Ternyata gedung DPR RI sudah siap menyambut aksi massa kemarin yaitu dengan memasang beton di depan pintu masuk gedung DPR RI untuk mengantisipasi agar peserta aksi tidak masuk gedung DPR RI. Tidak hanya beton akan tetapi juga ada pagar berduri dan juga ada polisi anti huru-hara yang dipersiapkan agar peserta aksi tidak masuk ke kawasan gedung DPR RI.
Kalau akal pikiran anggota DPR RI waras seharusnya mereka mempersilahkan massa tersebut masuk ke gedung DPR untuk berdialog dan menyampaikan tuntutan mereka bukan melarang masuk. Kenapa anggota DPR apriori dan takut terhadap aksi massa? Bukankah anggota DPR dipilih oleh rakyat? Kenapa ketika rakyat mau menuntut dan bertemu dengan wakilnya, mereka takut. Aneh bin ajaib. Harusnya anggota DPR mempersilahkan dan malah menjamu massa karena selama ini mereka dipilih oleh rakyat dan digaji oleh rakyat, bukan melarang. Kalau massa dilarang masuk ke gedung wakil rakyat wajar saja jika massa menjadi marah dan bertindak anarkis. Jangan salahkan massa jika marah dan bertindak anarkis karena tindakan anarkis ini dipicu oleh sikap DPR yang apriori bertemu dengan rakyat.
Aksi massa di depan gedung DPR RI ini sampai larut malam. Sangat disayangkan seharusnya anggota DPR RI menerima aksi massa ini bukannya menolak dengan menutup pintu gerbang masuk gedung DPR RI. Saya yakin kalau massa ditemui dengan baik-baik dan disambut hangat anggota DPR, tindakan anarkis massa akan terhindarkan. Sadarlah wahai wakil rakyat. Selama anda mempertontonkan kemewahan dan kelebihan material, selama itu pula rakyat akan mengutuk dan memprotes anda.