0-19
Angka ini bukanlah angka mistis dan bukan juga angka keberuntungan atau hoky. Angka ini sebenarnya angka misteri. Mengapa misteri? Karena banyak orang masih menebak untung dan ruginya dari angka ini. Kalau masih ada SDSB atau porkas mungkin orang awam akan menjadikan angka ini sebagai taruhan. Ya angka ini adalah hasil akhir kesepakatan antara presiden RI, Prabowo Subianto dengan presiden AS, Donald Trump. Angka ini adalah angka keberuntungan menurut presiden RI, Prabowo dalam sambutannya ketika mendarat di bandara Soekarno-Hatta setelah lawatannya dari luar negeri. Sekilas Prabowo mengatakan bahwa kita beruntung tarif kita dikurangi secara drastis oleh presiden AS, Donald Trump. Saya memikirkan rakyat kita. Saya memikirkan rakyat kita. Begitulah kata-kata presiden dari partai Gerindra itu. 0-19 adalah hasil akhir kesepakatan dagang antara RI dan AS dimana semua barang dari AS bebas masuk ke Indonesia tanpa adanya pajak. Sementara barang Indonesia yang masuk ke AS dikenai pajak 19% yang semula 42%.
Secara hitungan matematika memang ada penurunan drastis terhadap tarif pajak yang dikenakan AS terhadap barang Indonesia yang semula 42% menjadi 19%. Tarif ini merupakan tarif terendah kedua se-Asean setelah Singapura. Barang Singapura yang masuk ke AS dikenakan tarif 10%. Kesepakatan tersebut ternyata ada embel-embelnya yaitu Indonesia harus membeli produk energi dari AS sebesar 15 miliar Dolar AS, mengimpor produksi agrikultur sebesar 4.5 miliar dolar AS dan membeli 50 pesawat Boeing baru mayoritas jenis 777. Barang yang harus dibeli Indonesia tersebut kalau dijumlahkan mencapai nyaris Rp. 300 triliun.
Sebentar lagi produk energi, pertanian dan teknologi dari AS akan membanjiri Indonesia. Apakah harga produk AS nanti akan bersaing dengan harga produk dalam negeri? Kita lihat saja nanti. Banyak pengamat mengatakan kesepakatan ini merupakan wujud kegagalan diplomasi kita dengan negara lain. Kesepakatan ini tidak mencerminkan pembelaan negara terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia. Bagaimana bisa produk AS akan membanjiri Indonesia tanpa adanya tarif. Kita kehilangan pendapatan dari bea masuk barang dari AS yang tidak bisa dikalkulasi besarannya. Tanpa adanya tarif maka produk apapun dari AS bebas masuk pasar Indonesia. Dengan demikian Indonesia hanya dijadikan pasar sama AS. Indonesia tidak punya daya tawar untuk melindungi pasar dalam negeri. Indonesia dengan jumlah penduduk 280 Juta merupakan pasar menggiurkan bagi AS.
Produk pertanian kita akan bersaing dengan produk pertanian asal AS. Apakah kita akan memenangkan persaingan pasar dalam negeri kita sendiri? Dilihat dari sisi konsumen, persaingan ini akan menguntungkan konsumen karena konsumen bebas memilih barang dengan harga yang bersaing alias murah dan berkualitas. Produk-produk AS akan diuji di pasar Indonesia dan apakah konsumen Indonesia akan tetap membeli produk dalam negeri atau memilih produk AS. Bagi produsen pertanian kesepakatan ini menjadi tantangan karena harus bersaing dengan produk AS. Kondisi pertanian kita sebenarnya tidak sepenuhnya baik karena sejak lama tidak ada perlindungan terhadap petani kita. Harga pupuk mahal, alat pertanian mahal, ongkos tenaga kerja pertanian mahal, harga obat mahal sementara harga jual produk pertanian sangat murah. Kondisi seperti inilah yang tidak menguntungkan petani kita. Indeks petani kita sangat rendah. Petani kita belum siap bersaing dengan produk asing. Dengan Thailand, Vietnam dan Kamboja saja kita belum bisa bersaing apalagi dengan produk AS. Kita tahu pemerintah AS sangat melindungi petani mereka. Sementara pemerintah Indonesia bukannya melindungi akan tetapi malah "membunuh" petani kita. Dari sisi pertanian, kita jelas kalah. Siapa nanti yang akan bertanggung jawab terhadap keruntuhan sektor pertanian kita?
Sektor energi kita dipaksa untuk mengimpor 15 miliar dolar AS. Sektor energi juga lemah. Tiap tahun kita kekurangan BBM. Import BBM kita rata-rata ratusan Triliun per tahun. Dengan adanya paksaan import BBM dari AS maka Indonesia tidak bisa mengimport BBM dari negara yang harga BBMnya murah. Kedaulatan energi dan pangan yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran diawal pelantikannya ternyata belum setahun sudah melempem. Ini adalah sebuah kekalahan telak diplomasi kita untuk melindungi kedaulatan energi dan pangan.
Produk Indonesia yang masuk ke AS dikenai tarif 19%. Eksport produk non migas Indonesia ke AS merupakan terbesar kedua setelah ke Tiongkok. Rata-rata mencapai 12.11 miliar Dolar AS. Memang AS menjadi pasar terbesar kedua eksport Indonesia. Mungkin dengan menyetujui tarif ini Prabowo ingin tetap menjadikan AS sebagai pasar eksport Indonesia ke luar negeri. Prabowo melihat jangan sampai produk Indonesia digusur oleh produk negara lain jika ditetapkan tarif sebesar 19%. Tarif sebesar itu merupakan tarif sedang menurut Prabowo dibandingkan dengan negara lain.
Yang jelas kesepakatan 0-19 tersebut tidak adil ibarat sepak bola kita kalah telak. AS pesta gol dengan kemenangan tersebut. Bagi konsumen saya ucapkan selamat membeli barang dari AS dengan harga murah dan bagi produsen bersiap-siaplah untuk menggali lubang kematian. Kedaulatan energi dan kedaulatan pangan hanya pemanis bibir saja alias omon-omon belaka.