NGARENGAN

Ngarengan adalah salah satu nama dari dukuhan di desa Puncel Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Asal muasal nama Ngarengan tidak ada yang tahu. Tokoh yang dituakan di dukuh tersebut juga tidak tahu asal usul kosakata Ngarengan. Menurut tokoh tertua dukuh tersebut sejak kecil dia sudah tanya asal muasal kata Ngarengan akan tetapi orang tua dahulu juga tidak pernah ada yang tahu. Bahkan menurut tokoh tersebut kosa kata Ngarengan bisa jadi adalah ngarak ngerik kurang mangan (cari jangkrik karena kurang makan). Wajar jika memang kosakata Ngarengan diartikan seperti itu.  Arti kata seperti itu dalam bahasa Jawa disebut dengan kereto boso. Kereto boso adalah susunan kosakata yang bisa diartikan berdasarkan gabungan kata tersebut, contoh tandur kereto bosonya noto karo mundur. Untuk masalah kereto boso Jawa adalah jagonya. Kembali ke dukuhan Ngarengan. 

Lokasi dukuh ini berada di tengah hutan yang sekarang sudah gundul. Penduduknya sangat sedikit sekitar 350 jiwa hak pilih. Ngarengan ini terdiri dari 4 rukun tetangga dan 1 rukun warga. Jalan menuju lokasi dukuh Ngarengan sudah beraspal akan tetapi sudah terkelupas. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah bertani. Dulu sebelum hutan ini kayunya dijarah oleh orang luar dukuhan kelihatan sangat asri, damai , tenang dan dingin.  Dulu ketika masih ada hutan dukuhan Ngarengan ini tidak kelihatan kalau ada penduduknya karena begitu lebatnya hutan jati waktu itu. Menurut cerita tokoh tertua di Ngarengan bahwa ada pohon jati berumur sekitar 150 tahun sekitar tahun 2000-an dan diberi pengaman berupa kawat berduri agar tidak dijarah orang. Bahkan pernah pihak Perhutani (Perusahaan Kehutan Indonesia) menjadikan pohon jati tersebut sebagai bibit karena menurut ahli Perhutani pohon jati tersebut sangat baik di seluruh Asia Tenggara. Pembibitan pun dilakukan oleh Perhutani. Kawasan Ngarengan merupakan hutan yang pengelolaannya dikuasai oleh Perhutani. BKPH (Badan Kesatuan Pemangku Hutan) berada dan berkantor di Ngarengan. BKPH Ngarengan ini membawahi wilayah hutan yang ada di Pati Utara. Mulai kawasan hutan Bulungan kecamatan Tayu sampai sebagian wilayah Jepara. Jaman Kolonial Belanda, Ngarengan merupakan wilayah yang terkenal karena ada pabrik pengolahan karet dan juga kantor BKPH. Dukuh Ngarengan ada 2 yaitu Ngarengan ikut administrasi desa Puncel dan Ngarengan yang ikut administrasi desa Wedusan. Ngarengan yang bagian asministrasi desa Wedusan sangat sedikit penduduknya karena hanya berupa kantor BKPH atau orang Jawa menyebutnya Sinderan. Jadi Ngarengan yang ikut desa Wedusan hanya dihuni oleh pejabat BKPH beserta keluarganya. Sementara Ngarengan yang merupakan bagian dari administrasi desa Puncel dihuni lebih banyak warga biasa. 

Ada makam tokoh yang selalu diperingati kematiannya atau haul yaitu makam Mbah Pandansili. Nama mbah Pandansili pun tidak ada yang tahu dan asal usul tokoh ini juga tidak ada yang tahu. Ada yang mengatakan berasal dari Jogja yaitu utusan dari keraton Jogja untuk menyebarkan agama Islam di pesisir utara Jawa. Akan tetapi ini hanya cerita dari tokoh Ngarengan. Wajar kalau makam tokoh besar di sekitar Dukuhseti berasal dari keraton Jogja karena memang ada utusan dari Raja Mataram waktu itu untuk menyebarkan Islam di pesisir pantai utara Jawa. Seperti ada makam Singo bongso di desa Bakalan, makam Mbah Brojoseti desa Dukuhseti, makam ki Jogo Rekso desa Alasdowo dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut berasal dari keraton Jogja. Wajar bila makam mbah Pandansili diasosiakan dengan makam tokoh lain yang berasal dari Jogjakarta.  Warga Ngarengan sangat relegius. Semua warga Ngarengan memeluk Islam. Islam yang dipeluk adalah Islam yang dibawa oleh Walisongo. Ada 1 Masjid dan 2 musholla di Ngarengan. Ada 1 Yayasan pendidikan yang menaungi pendidikan PAUD, RA, MI. Sementara jenjang MTs belum ada. Ketika sudah jenjang MTs maka mereka sekolah ke Desa Puncel atau mondok di beberapa pondok di sekitar desa. Jarak Ngarengan menuju jalan raya Tayu-Puncel sekitar 2 km dan tidak ada angkutan. 

Dulu Belanda membangun pabrik karet di Kalitelo. Sangat jauh dari jalan raya karena pabrik tersebut dimaksudkan untuk menerima dan mengolah hasil hutan karet yang ada di sekitar Ngarengan dan Jepara. Jaman Belanda dahulu pabrik ini sangat terkenal dan ramai.  Pabrik ini dekat dengan markas Belanda. Markas Belanda di Pati utara ada di desa Tegalombo dan Puncel yang sekarang menjadi sekolah BOPKRI. Markas Belanda dahulu  dilengkapi dengan rumah sakit, perumahan, pasar, gereja dan sekolahan. Saat itu pendidikannya sangat terkenal. Setelah Belanda menyerah kepada Republik kawasan pemukiman Belanda itu diambil alih oleh pihak yayasan Gereja. 

Kembali ke Ngarengan. Sebagai petugas pencatat nikah saya harus melayani permintaan peristiwa nikah se-kecamatan Dukuhseti termasuk Ngarengan ini. Budaya Jawa tidak bisa dihilangkan begitu saja ketika ada acara peristiwa nikah. Seperti yang terjadi di Ngarengan posisi duduk calon pengantin sudah diatur sedemikian rupa oleh orang tua/pintar.  Waktu akad nikahpun harus sesuai dengan jam yang sudah ditentukan. Setiap calon pengantin lelaki datang membawa beberapa sasrahan atau barang lamaran. Barang lamaran itu banyak sekali mulai dari seisi rumah seperti meja, kursi, almari, dipan, alat masak, kompor, almari es, bahkan ada yang membawa sepeda motor baru dan dalam kasus tertentu ada yang membawa mobil baru. Belum lagi bawaan kue pengantin yang sangat banyak itu variasinya. Sasrahan ini sudah menjadi adat orang Ngarengan khususnya dan Pati pada umumnya. Setiap calon pengantin diiring oleh sanak keluarga, tetangga dan teman-temannya. Acara resepsinya dibuat seperti adat Jawa. Saya tidak begitu paham dan mengikuti prosesi resepsi adat Jawa karena begitu selesai melaksanakan tugas pengawasan akad nikah saya harus segera pulang dan menuju giliran pengantin berikutnya. Yang pasti setiap pengiring selalu berdandan ganteng dan cantik karena ini momentum menghadiri pesta perkawinan dan menghormati pengantin.