Sakitlah Jika Terpaksa
Mungkin itu ungkapan yang terjadi pada orang yang tidak mendapatkan perhatian dalam bidang kesehatan di negara ini. Kalimat sakitlah jika terpaksa sering terucap dari orang yang secara ekonomi tidak beruntung. Ucapan itu karena berkaitan dengan birokrasi yang berbelit ketika seseorang sakit. Padahal sudah ada jaminan kesehatan dari negara terhadap warganya lewat BPJS. Bayangkan jika seseorang sakit dan periksa di fasilitas kesehatan tidak boleh sembarang fasilitas kesehatan yang dia kehendaki. Urutannya jika ia sakit harus periksa di fasilitas kesehatan pertama tidak boleh langsung ke rumah sakit. Jika langsung ke rumah sakit maka harus membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kalau tidak membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama maka harus lewat loket lain yaitu lewat IGD (Instalasi Gawat Darurat). Lewat IGD berarti harus rawat inap atau kalau tidak harus bayar secara mandiri. Kalau langsung rumah sakit berarti kondisi pasien sudah emergency atau tahap gawat darurat. Belum lagi kalau belum lunas angsuran BPJS nya maka si pasien harus melunasi angsuran BPJSnya. Begitulah birokrasi orang sakit di negara ini.
Apakah benar seperti itu? Saya pun menelpon salah satu kawan yang bekerja di rumah sakit terkait proses pelayanan kesehatan di rumah sakit. Ternyata memang alurnya seperti itu. Pasien tidak diperbolehkan langsung ke rumah sakit sesuai keinginannya. Pasien harus membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama sebelum ke rumah sakit. Jika tidak maka harus lewat loket IGD yang artinya harus rawat inap. Prosedur itu berlaku bagi semua pasien baik itu ASN maupun non ASN. Ribetnya lagi kalau ASN punya dokter keluarga sementara saat diperlukan dokter keluarganya tidak ada maka mau tidak mau harus ke rumah sakit lewat loket IGD yang artinya harus rawat inap padahal sakitnya tidak seberapa dan tidak membutuhkan penanganan serius. Mungkin pasien cuman ingin tahu penyakitnya kayak apa. Tidak hanya itu terkadang fasilitas kesehatan tingkat pertama ketepatan hari libur dan dokternya tidak ada mau tidak mau harus rawat inap di rumah sakit. Rawat inap di rumah sakit pun kalau hari libur belum tentu ada dokter spesialisnya. Ada pasien rawat inap di sebuah rumah sakit dan belum sembuh benar dipulangkan dengan alasan kuota BPJSnya sudah maksimal. Saran pegawai rumah sakit nanti kalau sudah sampai rumah balik lagi ke rumah sakit untuk rawat inap tidak masalah. Ribet benar birokrasi orang sakit ini. Bagi warga yang tidak mampu praktek berbelit dan ribet seperti itu membuat sakitnya bertambah parah. Bukan pertolongan dan penanganan yang baik akan tetapi menambah beban si sakit. Itulah beberapa keterangan yang saya dapat dari beberapa orang yang pernah sakit dan dirawat di failitas kesehatan.
Seharusnya pasien diberi kebebasan untuk mendapatkan perawatan bukan harus melewati birokrasi yang rumit dan ribet itu. Yang penting bagi pasien adalah sakitnya segera tertolong dan tertangani. Urusan birokrasi belakangan yang penting pasien segera tertangani secara cepat. Memang orang sakit di negeri ini kalau tidak parah tidak akan ditangani secara cepat. Wajar jika sebagian warga berucap jangan sakit kalau tidak terpaksa bahkan ada kata-kata orang miskin dilarang sakit. Ternyata fakta tersebut memang benar adanya karena masalahnya adalah birokrasi perawatan yang ruwet dan berbelit. Apakah para ahli kita tidak melihat pelayanan pasien di Singapura dan Malaysia yang begitu cepat dan tanpa berbelit-belit. Wajar saja jika warga Indonesia yang mampu pilih berobat di luar negeri daripada di dalam negeri. Mungkin salah satu penyebabnya adalah pelayanan yang berbelit dan tidak cepat. Semoga kementerian kesehatan dan para anggota dewan segera merubah paradigma birokratis pelayanan kesehatan di negara ini agar orang sakit segera tertangani dengan cepat dan baik.