Balai Desa Wedusan
Wedusan
Wedusan adalah salah satu nama desa di wilayah administrasi Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Jarak Desa Wedusan dengan ibu kota kecamatan sekitar 15 Km. Desa ini adalah desa terjauh dari ibu kota kecamatan. Desa Wedusan terdiri dari 10 dukuhan yaitu Wedusan, Golilo, Dodol, Dodol Timur, Pugrukan, Sadang, Karanganyar, Nglendoh, Kranjang dan Ngarengan. Desa ini berbatasan dengan wilayah administrasi kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Asal muasal nama Wedusan masih belum bisa diketahui secara jelas. Menurut salah satu sumber nama Wedusan diambil dari karena banyaknya pohon wedus yang tumbuh di daerah tersebut. Memang kelemahan mayoritas warga kita adalah tidak adanya sumber tertulis terkait asal muasal desa. Padahal warga desa tiap tahun mengadakan kabumi yaitu ulang tahun desa atau memperingati berdirinya desa. Walaupun dalam kabumi tersebut ada rangkaian acara pembacaan asal muasal desa akan tetapi belum ada yang dibukukan secara baik. Wilayah Wedusan sangat luas sekali. Awalnya desa ini adalah pecahan dari desa Sumur yaitu sebelah selatan desa yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati. Pada sekitar tahun 1939 Desa Sumur dipecah menjadi dua yaitu Sumur dan Wedusan. Desa Sumur masuk wilayah Kecamatan Cluwak dan Wedusan masuk wilayah Kecamatan Dukuhseti. Sebenarnya secara jarak tempuh Desa Wedusan lebih dekat dekat dengan Kecamatan Cluwak. Entah mengapa dimasukkan dalam wilayah administrasi Kecamatan Dukuhseti. Untuk menjangkau Desa Wedusan dari ibu kota Kecamatan Dukuhseti harus ke utara menuju desa Puncel setelah itu belok ke barat melewati hutan karet kemudian hutan yang sudah gundul dan dijadikan hutan sosial sekitar 4 Km. Jalan menuju desa Wedusan sudah beraspal akan tetapi ada beberapa bagian yang sudah rusak. Masuk desa Wedusan sangatlah asri dan damai karena jarang ada kendaraan yang lewat. Sebenarnya ada jalan pintas dari ibu kota kecamatan menuju desa Wedusan akan tetapi berupa jalan setapak dan berupa tanah sehingga kalau musim penghujan tidak bisa dilewati.
Jumlah penduduk desa Wedusan sekitar 4 ribuan jiwa. Mayoritas pemeluk Islam. Ada 38 rukun tetangga dan 5 rukun warga. Mayoritas mata pencaharian warga adalah bertani. Lahan pertanian di desa ini sangat luas karena berbatasan langsung dengan hutan dimana hutan sekarang dijadikan perhutanan sosial yang dikerjakan oleh penduduk sekitar desa hutan. Sejauh mata memandang hanya hamparan luas tegalan bekas lahan hutan. Dulu sebelum pohon hutan ditebang secara massal oleh penduduk daerah ini sangat hijau dan rindang karena begitu luasnya hutan di daerah ini. Desa ini mayoritas topografinya adalah pegunungan. Wajar desa ini berbatasan dengan Gunung Clering yaitu gunung yang batunya diambil untuk bahan keramik atau semen putih dan juga batu kris. Begitu masuk desa ini terasa sekali bahwa penduduk desa jauh dari keramaian kota dan jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota. Pertama kali saya masuk desa ini seakan penduduk desa ini memang jauh dari keramaian. Penduduknya ramah dan suka senyum. Mereka selalu menggunakan bahasa Jawa kromo yaitu bahasa Jawa halus. Dalam bahasa Jawa ada tingkatannya yaitu ngoko dan kromo. Bahasa ngoko biasanya digunakan ketika berbincang dengan sesama atau dengan orang yang lebih muda. Sementara bahasa Jawa kromo digunakan bagi orang yang lebih tua atau orang yang belum dikenal sebagai penghormatan. Sebelum saya masuk desa Wedusan mempunyai tebakan mungkin awal mula desa ini dinamakan wedusan karena banyaknya atau waktu itu tempat menggembala wedus (kambing). Memang dahulu warga desa Wedusan peliharaannya adalah wedus (kambing). Setiap rumah menurut cerita mempunya kambing.
Ada dukuhan yang letaknya jauh dari balai desa yaitu dukuhan Nglendoh. Dukuhan ini jaraknya sekitar 3 Km dari balai desa dan harus melewati jalan di tengah hutan. Dukuhan ini ada di lembah gunung Pendem. Saya menyebutnya lembah Gunung Pendem karena dukuhan Nglendoh berbatasan langsung dengan dukuhan Pendem yang masuk desa Sumberrejo kecamatan Donorojo kabupaten Jepara. Setelah melewati jalan tengah hutan -sekarang bukan hutan karena sudah tidak ada pohonnya- baru masuk dukuh Nglendoh. Jalannya menurun dan dari kejauhan dukuhan ini dikelilingi oleh pegunungan. Letak dukuh Nglendoh ada di tengah-tengah pegunungan tersebut. Sebelah utara pegunungan ada waduk atau bendungan. Sebagian dukuhan Nglendoh masuk dalam kawasan bendungan sehingga jika waduk tidak mampu menampung air ketika musim penghujan sebagian wilayah Nglendoh akan terendam air karena memang masuk wilayah rendaman air waduk. Dukuhan Nglendoh berbatasan langsung dengan dukuh Pendem Desa Sumberrejo Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Warga dukuh Nglendoh lebih familiar dengan warga dukuh Pendem daripada dengan warga desa Wedusan lainnya. Aktivitas warga dukuh Nglendoh lebih dekat dan sering dengan warga dukuh Pendem yang masuk wilayah Kabupaten Jepara. Dukuh Nglendoh dan Dukuh Pendem hanya dibatasi oleh sungai kecil yang dibangun diatasnya jembatan agar memudahkan warga kedua dukuhan saling berinteraksi. Warga dukuh Nglendoh bersekolah di dukuh Pendem dan tidak bersekolah ke desa Wedusan karena memang jarak jangkaunya yang jauh. Di Dukuh Nglendoh tidak ada lembaga pendidikan sehingga mereka harus menyekolahkan anaknya ke dukuh Pendem karena di dukuh Pendem ada lembaga pendidikan mulai RA sampai MA. Idealnya dukuh Nglendoh ini masuk wilayah Jepara. Menurut cerita dahulu Dukuh Nglendoh ini merupakan tempat pelarian para pejuang Republik Indonesia dari kejaran kompeni Belanda. Tidak bisa membayangkan waktu jaman dahulu dukuh Nglendoh kayak apa. Mungkin sangat terisolasi apalagi belum ada jalan untuk menembus dukuhan tersebut dari desa Wedusan. Jalan yang melewati tengah hutan baru ada sekitar tahun 2000-an. Itu pun berupa jalan setapak. Dulu kalau mau menuju dukuh Nglendoh harus melewati daerah Jepara dulu yaitu Toplek yang bisa diakses dari desa Puncel dan jalannya melewati hutan. Lokasi dukuh Nglendoh yang berada di lembah inilah yang membuat mereka nyaman dan damai dengan keadaan sekarang. Semua desa Wedusan sudah dialiri listrik.
Keberadaan dukuhan yang jauh dan tidak bersambung seakan dukuhan tersebut seperti desa tersendiri. Antara dukuh Wedusan dengan Karanganyar juga jauh begitu juga Pugrukan dengan Dodol juga jauh. Untungnya jalan yang menghubungkan antar dukuhan tersebut sudah bagus. Semua jalan antar dukuh sudah beraspal walaupun ada kerusakan di bagian tertentu. Secara umum jalan di desa Wedusan sudah bagus. Ada satu dukuhan yang hanya ditempati 1 rukun tetangga saja yaitu Ngarengan. Ngarengan ini dulu ditempati oleh pegawai Perhutani. Dulu disebut dengan sinderan. Ada 2 dukuh Ngarengan yaitu Ngarengan yang ikut wilayah desa Puncel dan Ngarengan yang ikut wilayah desa Wedusan. Ngarengan yang ikut wilayah desa Wedusan dahulu adalah kantor Perhutani dan ada pabriknya. Karena hanya kantor Perhutani maka yang mendiami adalah pegawai Perhutani dan keluarganya saja. Ngarengan inilah yang dulu terkenal karena adanya pabrik dimana banyak buruh pabrik yang bekerja dan menetap di sekitar pabrik. Sekarang pabriknya masih beroperasi akan tetapi tidak sebesar dahulu. Pabrik karet Ngarengan dahulu adalah satu-satunya pabrik karet di Pati Utara. Bahan bakunya dari seluruh hutan yang dipangku oleh BKPH Ngarengan yang wilayahnya meliputi Pati utara dan sebagian Jepara. Sejak reformasi 1998 karena pepohonan hutan dijarah oleh massa maka bahan baku pabrik berkurang drastis dan akhirnya hanya beroperasi ala kadarnya.
Walaupun desa Wedusan jauh dari ibu kota Kecamatan dan desa lainnya akan tetapi perekonomian warga tetap berjalan baik. Perhutanan sosial dikelola dengan baik. Perhutanan sosial ditanami ketela pohon yang hasilnya luar biasa banyak. Saat musim kemarau desa Wedusan tidak kekurangan air akan tetapi ketika musim penghujan ada daerah yang kebanjiran dan tanahnya longsor karena tidak adanya pohon yang menjadi resapan air. Membayangkan desa Wedusan sebelum hutan dijarah massa seperti koloni dalam hutan yang aman, damai dan asri. Harusnya hutan itu ditanami pohon lagi agar tidak kelihatan tandus.