KUA Masa Depan
Kantor Urusan Agama yang disebut dengan KUA merupakan unit pelaksana teknis terdepan Kementerian Agama. Lokasi KUA ini berada di wilayah kecamatan. Keberadaan KUA tidak terlepas dari perjuangan para kyai dan ulama pada masa penjajahan Jepang dan Belanda. Secara historis KUA adalah perintis dibentuknya Departemen Agama yang sekarang menjadi Kementerian Agama. Tanpa adanya KUA Departemen Agama tidak akan ada. Latar belakang berdirinya KUA adalah untuk memperjuangkan dan mengurusi kepentingan umat Islam ketika zaman penjajahan. Jauh sebelum penjajahan kolonial Belanda ada lembaga kepenghuluan yang didirikan oleh Kesultanan Mataram. Lembaga kepenghuluan ini bertugas untuk mengurus urusan agama termasuk pencatatan dan pelaksanaan pernikahan.
Secara historis KUA lebih dulu berdiri dibandingkan dengan Departemen Agama. Ini dibuktikan dengan register pencatatan akta nikah di banyak KUA seluruh Indonesia. Ada pencatatan nikah pada tahun 1880-an. Ini membuktikan bahwa pada tahun tersebut administrasi pencatatan sudah tertata rapi. Para ulama dan kyai saat itu sudah menyadari betul pentingnya pencatatan pernikahan. Pada beberapa KUA pencatatan nikah sebelum Indonesia merdeka menggunakan huruf arab pegon yaitu penulisan yang menggunakan huruf Arab yang bunyinya berbahasa Jawa atau Indonesia.
Pada zaman Jepang dibentuklah lembaga shumubu yaitu lembaga yang bertanggung jawab mengurusi masalah keagamaan (Islam) yang ketuanya saat itu adalah KH. Hasyim Asy'ari (pendiri ormas Nahdlatul Ulama). Setelah Indonesia merdeka dibentuklah Departemen Agama yang salah satu tugasnya adalah mengurusi pencatatan pernikahan, talak, cerai dan rujuk yang merupakan tanggung jawab KUA. Dalam perjalanannya KUA mengalami perkembangan yang sangat lambat. KUA tidak mempunyai kantor sendiri. Kebanyakan waktu itu Kantor KUA mendompleng di masjid karena memang kepala KUA saat itu tugasnya selain sebagai aparatur sipil negara juga sebagai kyai untuk mensyiarkan agama Islam. Kalau pun KUA mempunyai kantor sendiri tanahnya adalah tanah wakaf yang diperoleh dari masyarakat. Sementara gedungnya pun sumbangan dari masyarakat. Operasional KUA pun diambilkan dari biaya pernikahan calon pengantin. KUA sebagai institusi negara saat itu seakan termarginalkan.
Biaya operasional harus cari sendiri yang diambilkan dari biaya pencatan pernikahan calon pengantin. Istilah bedolan atau nikah luar kantor sudah ada sejak awal berdirinya KUA. Setiap petugas yang menghadiri pelaksanaan bedolan selalu diberi uang transport oleh yang punya hajat. Uang transport inilah yang kemudian dibuat operasional KUA. Kondisi seperti itu bertahan sampai sekitar tahun 2000-an. Pasca tahun 2014 keuangan KUA baru tertata dengan baik.
Mulai tahun 2014 inilah pembangunan KUA semakin baik. Pembangunan gedung KUA dilakukan secara massif dengan menggunakan instrumen SBSN. SBSN ini adalah dana abadi umat atau dana haji yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk negara. Hasil dari keuntungan investasi inilah yang kemudian digunakan untuk membangun sarana dan infrastruktur yang berkaitan dengan masalah haji. Semua lembaga atau kementerian yang berkaitan dengan pelayanan haji bisa menggunakan instrumen SBSN ini. Kemenhub sudah sejak awal menggunakan pembangunan infrastruktur dengan SBSN. KUA baru bisa mengakses pada tahun 2014. Sejak saat itu gedung KUA banyak mengalami kemajuan karena pembangunannya memakai instrumen SBSN. KUA bisa mengakses instrumen SBSN karena salah satu tugas KUA adalah pelayanan bimbingan manasik haji reguler. Bentuk dan luas gedung KUA didesign dengan baik layaknya sebuah kantor pemerintahan. Sampai saat ini sudah banyak gedung KUA mentereng hasil dari SBSN.
Seiring dengan pembangunan gedung KUA dan sarana prasarana yang layak penataan SDM pun dilakukan. Perubahan kebijakan dan regulasi pengaturan KUA pun dilakukan. Paling anyar adalah terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 22 tahun 2024 tentang organisasi dan tata kerja Kantor Urusan Agama. Dalam PMA ini pemerintah ingin menjadikan KUA sebagai unit pelaksana teknis mandiri yang langsung dibawah Direktorat Jenderal Bimas Islam. KUA berdasarkan PMA 34 tahun 2016 masih dibawah Kementerian Agama Kabupaten/Kota layaknya unit terkecil dari sebuah kementerian. Secara berjenjang KUA berada paling bawah dalam hirarki sebuah kementerian. Dahulu -mungkin sekarang masih ada-, KUA adalah tempat "pembuangan" pegawai kementerian agama. Pegawai yang tidak kompeten dan banyak hukdisnya ditempatkan di KUA. Imej KUA sebagai tempat pembuangan sangat terasa sekali waktu itu. Seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran para pembuat kebijakan imej tersebut dibalik. Para pembuat kebijakan menyadari bahwa KUA adalah ujung tombak dari Kementerian Agama maka harus ditempatkan pegawai yang terampil, cepat , lugas dan kompeten. Ibarat permainan sepak bola KUA adalah ujung tombak atau striker yang tugasnya adalah membobol gawang lawan. Dalam pelayanan publik KUA adalah eksekutor pelayanan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat maka harus ditempatkan pegawai yang kompeten dan kredibel. KUA harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan mandiri agar pelayanan memuaskan.
Sikap dan prilaku kompetitif harus dibangun dalam KUA agar KUA menjadi kantor yang maju. Inilah mungkin ruh PMA nomor 24 tahun 2024. Salah satu pasal terbaru dalam PMA tersebut adalah kepala KUA adalah pejabat non eselon dan kepala KUA bisa dijabat oleh penghulu atau penyuluh agama Islam. Mengapa tidak semua PNS Kementerian Agama bisa menjabat kepala KUA? Pasal ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan tidak melupakan historisitas berdirinya KUA. Jikalau pasal ini dihapus artinya pembuat kebijakan dan KUA menjadi a-historis. Ingatlah pesan proklamator kita, Soekarno jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Perubahan yang lebih radikal adalah KUA berada langsung dibawah direktorat jenderal bimbingan masyarakat Islam. Secara teknis administratif pembinaan dilakukan oleh sekretaris direktorat jenderal. Secara fungsional, KUA dibina oleh direktorat KUA dan keluarga sakinah. Kepala KUA bertanggung jawab langsung kepada direktur jenderal. Regulasi sebelumnya KUA masih berada di bawah kementerian agama kabupaten/kota. Dengan adanya PMA baru ini pembuat kebijakan menginginkan agar KUA menjadi UPT mandiri yang tidak ada cawe-cawe instansi diatasnya. Mungkin begitu.
PMA terbaru hanya mengatur organisasi dan tata kerja KUA dan belum mengatur secara teknis keuangan KUA, kepegawaian dan hubungan dengan Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan Kementerian Agama wilayah. Mungkin ke depannya akan ada regulasi yang mengatur masalah tersebut. Operasional KUA ini harus diatur secara terperinci. Selama ini operasional KUA menginduk kepada Kementerian Agama Kabupaten/Kota. KUA berada di bawah Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Memang pengaturan tersebut perlu waktu dan tidak serta merta harus jadi dalam satu waktu. Pengaturan KUA menjadi UPT mandiri harus bertahap tidak bisa langsung menjadi UPT Mandiri. Awal mulanya ditata organisasi dan tata kerjanya kemudian menyusul keuangan, kepegawaian dan seterusnya.
Pengaturan KUA menjadi UPT Mandir harus didorong dan didukung karena KUA adalah ujung tombak Kementerian Agama. Orang mengenal Kementerian Agama karena adanya KUA. Begitu pelayanan KUA baik maka baiklah Kementerian Agama. Sebaliknya jika pelayanan KUA jelek maka jeleklah Kementerian Agama. Ada masalah kecil KUA, Kementerian Agama langsung kena getahnya. Contoh penerapan PMA nomor 22 tahun 2024 pasal 16 ayat 1 dan 2 dimana pelaksanaan akad harus di hari dan jam kerja dan di KUA Kecamatan (1). Pelaksanaan akad nikah sebagaimana dalam ayat satu dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan.
Pasal ini membuat geger masyarakat padahal PMA tersebut baru akan berlaku pada awal tahun 2025. Ini salah satu contoh begitu pentingnya KUA di mata masyarakat. KUA sejak dulu melayani keinginan masyarakat. Pelaksanaan akad nikah kapan pun dan dimana pun tetap dilayani. Tidak seperti kantor pemerintahan lain yang jam dan hari pelayanannya terbatas yaitu hari dan jam kerja. Ketika pelaksanaan akad nikah dibatasi hanya pada hari dan jam kerja maka masyarakat protes. Ini menandakan begitu dekatnya KUA dengan masyarakat.
Semoga KUA ke depan semakin baik.