Hujan Dinanti
Di sela-sela tugas di hari libur saya berhenti di sebuah hamparan sawah luas yang tidak ada tanamannya sama sekali. Tanah itu merekah dan lubarngnya besar-besar. Tak satupun tanaman walaupun rumput liar hidup di sawah ini. Kering dan panas. Walaupun sudah hujan sekali tapi suasana masih seperti kemarau. Memang kemarau kali ini panjang sekali. Bahkan sungai-sungai pun tiada berair karena sumber airnya mengering. Musim penghujan telah tiba akan tetapi hujan belum tiba. Suhu udara sangat panas. Kekeringan di mana-mana.
Bulan Nopember hampir berakhir namun hujan tak kunjung datang. Musim hujan secara ilmu alam dimulai bulan Oktober dan berakhir bulan Maret. Tahun ini musim kemarau ternyata sangat panjang. Banyak warga yang mengeluh kekeringan. Musim kemarau tahun ini tidak seperti kemarau tahun-tahun kemarin. Kemarau ini dirasa sangat kering dan sumber air banyak yang mengering. Daerah yang tidak pernah kekurangan air, kemarau tahun ini kekurangan air. Apalagi daerah yang sudah langganan kekeringan di musim kemarau semakin kekeringan. Sumber air pun banyak yang kering alias kehabisan air. Sawah tadah hujan yang biasanya awal Oktober sudah mulai dikerjakan karena hujan mulai turun, tahun ini sawah itu tetap kering dan nelo (tanah pecah-pecah). Telo nya pun lebar-lebar. Tak pelak kekeringan tahun ini semakin banyak dirasakan oleh warga. Sebagian wilayah ada yang sudah hujan akan tetapi hanya sekali dan tidak tiap hari hujan. Bila musim hujan turun biasanya hujan turun terus-menerus tiada hentinya baik siang maupun malam.
Nopember menurut orang Jawa adalah onone sumber (adanya sumber air artinya hujan mulai turun) ternyata pribahasa tersebut sudah tidak berlaku lagi karena Nopember bukannya adanya sumber tapi ora onone sumber. Desember menurut orang Jawa adalah gede-gedene sumber (besar-besarnya sumber air karena banyak hujan) ternyata belum bisa diprediksi. Wilayah Pati utara Nopember ini hanya sekali hujan sangat deras mungkin di daerah lain sudah beberapa kali hujan. Hujan perdana itu belum bisa digunakan untuk menanam. Hujan perdana itu hanya bisa menutup tanah yang merekah atau menganga. Begitu hujan tidak turun lagi kembali tanah mengering dan merekah lagi. Inilah sebabnya sawah dan ladang menjadi puso tidak ditanami apapun karena tiadanya air. Jikalau ada tanamannya petani pasti mempunyai sumur bor. Pertanian sekarang mengandalkan air dari sumur bor bukan lagi sistem pengairan seperti dulu. Air menjadi rebutan. Wajar jika ada aturan penggunaan sumber air dalam harus ijin kementerian lingkungan hidup. Hujan sangat dinanti-nanti akan tetapi tiada kunjung datang.
Efek kemarau panjang, buah-buahan juga tidak bisa berbuah. Pohon durian, rambutan belum berbuah karena belum adanya hujan. Bulan Nopember dan Desember adalah bulan panen raya durian dan rambutan akan tetapi tahun ini walaupun ada durian dan rambutan jumlahnya sangat sedikit.
Efek kemarau panjang tidak hanya terhadap tanaman akan tetapi terhadap hewan piaraan. Peternakan warga yang mengandalkan pakan rumput dan dedaunan terpaksa harus dikurangi porsi makannya. Porsi makan seharusnya rumput 2 karung sehari dikurangi menjadi 1 karung sehari. Sementara pakan penggantinya adalah katul (sisa dari proses padi menjadi beras). Untuk mencari katul pun sangat sulit kalaupun ada harganya mahal. Kalau ada hujan semua akan senang.
Petani dan peternak berharap hujan segera turun akan tetapi harapan itu belum terkabul. Awan pun sudah datang akan tetapi tiada pernah menjadi hujan. Beberapa kawan bercerita kalau sudah beberapa minggu sumber airnya sudah mengering dan selama ini mendapatkan bantuan air dari beberapa organisasi. Kawan ini belum pernah selama hidupnya kekeringan akan tetapi tahun ini mengalami kekeringan. Semoga dengan berakhirnya bulan Nopember akan datang hujan sehingga sawah maupun ladang bisa ditanami dan sumber air mengeluarkan airnya lagi.