Bertemu Kawan
Kemarin waktu akhir pekan, saya beserta keluarga mengantar anak kedua ke Jogja dalam rangka menimba ilmu di salah satu universitas terkemuka di kota pelajar tersebut yaitu UGM. Anak kedua saya tersebut memang terobsesi menimba ilmu di universitas tersebut. Si anak sudah gap year karena sebelumnya sudah ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru -SNBT- dan gagal. Anak tidak patah semangat pokoknya kepingin masuk di salah satu prodi di fakultas tehnik. Pilihannya adalah teknik bio medis. Program studi relatif baru di kancah pendidikan negara ini. Mengapa memilih prodi bio medis? Awalnya ketika menempuh sekolah menengah atas di salah satu pondok pesantren dalam test penelusuran bakat dan minat atau test potensial akademik oleh sekolah ternyata hasilnya peluang pertama adalah jurusan bio medis, kemudian kedokteran disusul kimia, fisika dan seterusnya. Berdasarkan hasil TPA tersebut, anak bersikukuh masuk bio medis. Padahal hanya ada beberapa universitas yang membuka prodi tersebut yaitu UGM, UI, Unair dan ITS. Keempat universitas itu pun belum ada alumni dari prodi ini. Saya sebenarnya ragu karena selama ini sekolahnya tidak begitu berorientasi ke pelajaran sekolah akan tetapi lebih ke orientasi pondoknya karena memang pondoknya adalah pondok untuk menghafal al-Qur'an. Semua pasti kenal dengan pondok ini yaitu Pondok Yanbu'ul Qur'an yang terkenal di kota kretek bahkan ke seantero pondok tahfidz se-Indonesia. Kualitas dan keterjaminan mutu Yanbu'ul Qur'an sebagai pesantren yang menghasilkan penghafal al-Qur'an tidak perlu diragukan lagi. Mayoritas penghafal al-Qur'an alumni dari pesantren ini.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah di pesantren tersebut, anak langsung daftar seleksi SNBT. Pilihannya hanya UGM walaupun ada pilihan universitas lain. 4 pilihan yang harus dipilih semuanya diisi UGM. Gagal. Tidak mau kuliah akhirnya memilih mempersiapkan seleksi SNBT yang akan datang dengan mengikuti bimbel. Selama setahun mengikuti bimbel. Tahun 2025 ikut SNBP dan berhasil.
Jogja bukanlah kota asing bagi saya karena dahulu pernah 6 tahun di kota ini. 6 tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama 6 tahun itu sudah berkelana ke pelosok-pelosok Jogja. Bahkan tidak hanya Jogja akan tetapi kota peri-peri Jogja juga sudah saya kunjungi. Jogja adalah kota dimana tempat saya menempa diri dan berkenalan dengan organisasi mahasiswa. Baik organisasi intra kampus maupun ekstra kampus. Selama menempa diri dengan gerakan mahasiswa inilah saya berkenalan dengan aktivis dari perguruan tinggi di seantero Jogja bahkan se-Jawa. Jogjalah yang membentuk karakter saya sampai saat ini.
Gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa pada tahun 1998 berawal dari kota ini. Masih begitu melekat dalam ingatan bagaimana saya bersama kawan-kawan aktivis jalanan mengorganisir gerakan di Jakarta sebelum reformasi. Saat kawan-kawan Jakarta takut untuk aksi demonstrasi, saya bersama kawan-kawan mengawali aksi di Jakarta tepatnya di gedung Komnas HAM. Saat itu hanya terdiri puluhan mahasiswa tidak sampai 30 peserta aksi akan tetapi dihadapi sekitar 5 truk pasukan huru-hara dari polisi maupun tentara. Sebenarnya waktu itu kami tidak berdemontrasi berjalan kemana-mana akan tetapi hanya bermain teater atau happening art di depan gedung komnas HAM. Banyak kawan yang ditangkap. Mulai saat itulah gerakan mahasiswa di Jakarta mulai bergeliat. Demonstrasi seakan menjadi menu keseharian mahasiswa Jakarta. Masih melekat dalam ingatan dimana harus menyewa base camp dalam rangka mengorganisir kawan-kawan Jakarta untuk menumbangkan rezim orde baru saat itu. Walhasil gerakan mahasiswa Jakarta menemukan momentumnya yaitu ketika menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 20 Mei 1998 yang fenomenal itu. Pasca pendudukan gedung DPR/MPR tersebut, Soeharto tumbang dengan menyerahkan kekuasaannya kepada BJ, Habibie. Itulah awal dari orde reformasi walaupun tidak seorang pun aktivis mahasiswa yang menamakan orde tersebut dengan orde reformasi. Penamaan orde tersebut berasal dari para pengamat politik saat itu.
Kembali ke Jogja. Sudah 24 tahun lamanya sejak lulus kuliah saya tidak pernah ke Jogja. Menurut informasi dari kawan-kawan yang ada di Jogja, sekarang jalanan Jogja sering macet karena banyaknya kendaraan. Mendengar kata macet saya sudah tidak semangat untuk pergi ke Jogja. Kemacetan itu akan bikin stress dan waktu tidak efisien. Banyak kawan yang menetap dan berumah tangga di Jogja sehingga ketika ke Jogja saya berusaha untuk mampir ke rumah kawan tersebut. Sayang waktunya hanya sehari karena malamnya harus segera balik, ada acara besok paginya. Perjalanan rumah sampai Jogja memakan waktu sekitar 6 jam kalau lewat jalan nasional. Kalau lewat jalan tol membutuhkan waktu sekitar 5 jam, terpaut satu jam. Sudah lama saya tidak bepergian ke luar kota sehingga tidak mempunyai kartu tol. Untuk lewat jalan tol harus bayar dengan kartu tol. Ketika mencari kartu tol ternyata sepanjang jalan tidak ada warung yang jual kartu tol. Ada sekitar puluhan warung semacam indomart, alfa mart, exim mart dan mart-mart lain tidak ada yang jualan kartu tol. Akhirnya beli di kantor yang ada di samping pintu masuk tol, ternyata juga kehabisan kartu tol. Walhasil harus mencari di gerbang tol lainnya. Alhamdulillah berhasil.
Perjalanan via tol ini memang cepat dan memangkas waktu sekitar satu jam. Sesampai di Jogja saya kontak kawan tadi dan dipersilahkan untuk mampir di rumahnya. Saya hanya menghubungi dua kawan saja. Kalau saya menghubungi banyak kawan khawatirnya tidak bisa mampir. Rencana awal adalah mengantar ke pesantren anak saya untuk persiapan masuk kuliah. Kawan pertama yang saya tamui adalah kawan saya satu kelas dahulu. Waktu itu dia sebagai ketua HMJ dan saya wakilnya. Sekarang kawan itu sudah menjadi doktor bahkan sebentar lagi sudah menjadi guru besar alias profesor dan menjadi pengajar di kampusnya itu. Saya mampir ke rumahnya yang dekat dengan kampus. Kampus saya dulu adalah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) sekarang berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Memang ada Islam negeri dan Islam swasta ya di negara ini. Ya begitulah negara ini. Saya tidak ketemu kawan ini hampir 24 tahun sejak keluar dari Jogja. Wisudanya bersamaan akan tetapi nasib berbeda. Kawan ini sudah menjabat sebagai pembantu dekan III selama dua periode dan sekarang sudah mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Rumahnya belakang kampus. Hanya jalan kaki sekitar 5 menit sudah sampai rumahnya. Rumah lantai dua, kecil dan penuh dengan buku. Memang begitulah pengajar di universitas. Makanannya tiap hari buku walaupun gajinya sebenarnya tidak besar dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Kawan tadi begitu hangat menyambut kami sekeluarga. Begitu gembira dia bertemu setelah lama tidak ketemu. Kawan tadi terus bercerita keadaannya mulai lulus sampai sekarang. Memang orangnya periang dan banyak omong. Kawan tadi sudah berkeluarga akan tetapi belum dikasih momongan. Sekarang mempunyai program kehamilan (promil) walaupun umurnya tidak lagi muda. Umur 50 adalah umur yang sangat terlambat untuk promil walaupun demikian kawan tadi semangat sekali untuk melakukan promil. Suaminya lebih muda dari kawan tadi akan tetapi orangnya baik dan penyabar. Kawan tadi menjadi pejabat berpengaruh di fakultas. Kami sekeluarga diajak keliling kampus terutama fakultas saya dahulu. Memang saya kaget ketika masuk kampus ini, semuanya sudah berubah. Hanya jalan-jalannya saja tidak berubah. Ketika masuk fakultas, saya diperkenalkan dengan pejabat-pejabat yang kebetulan juga alumni fakultas ini. Banyak pejabat yang alumni dibawah saya sehingga tidak kenal. Hanya satu dosen yang saya kenal dan dulu mengajar saya walaupun hanya satu semester. Satu orang lagi yaitu satpam yang masih ingat betul dengan saya. Setelah berkeliling dan foro-foto di fakultas kemudian saya janjian dengan kawan satu lagi. Kawan ini rumahnya juga dekat dengan kampus. Tepatnya di belakang hotel Ambarukmo milik keraton itu. Entah kalau sekarang, kalau dulu Hotel Ambarukmo ini milik keraton.
Dengan dikirimi google map saya melaju menuju rumah kawan saya yang satu tadi. Kawan ini aslinya Madiun tepatnya Dolopo. Sekarang beristrikan orang Jogja dan menetap di Jogja. Kawan ini adalah kawan gerakan mahasiswa ekstra parlemen jalanan alias tukang demo begitulah orang menyebutnya. Sesampai di rumahnya, saya sekeluarga disambut dengan hangat. Sudah 24 tahun tidak pernah berjumpa. Kawan ini kelihatan masih muda saja dan tidak ada perubahan dalam diri kawan ini. Pembawaannya masih seperti dulu. Kawan ini bercerita panjang mulai lulus sampai sekarang dan mengabarkan kawan-kawan yang sekarang baik sudah jadi pejabat maupun jadi tokoh masyarakat di rumahnya masing-masing. Kawan ini juga cerita peristiwa yang dialami oleh kami ketika masih kuliah kepada anak-anak saya. Anak-anak saya baru tahu kalau ayahnya dulu adalah aktivis jalanan. Memang saya tidak pernah bercerita kepada anak-anak semasa kuliah dahulu. Biarlah anak-anak menemukan jati dirinya masing-masing, orang tua tinggal mengikuti dan mengarahkan. Ketemu kawan lama serasa merefresh kembali pengalaman dan kenangan masa lalu. Sebenarnya masih banyak kawan yang harus saya kunjungi akan tetapi karena waktu terbatas akhirnya hanya 2 kawan ini yang saya kunjungi.
Dalam perjalanan menuju pesantren ternyata memang macet. Dulu tahun 90-an, Jogja masih sepi dan jarang sekali kendaraan. Kalau malam sangat tenang sekali. Nyaman untuk belajar dan bermain. Sekarang penuh dengan kendaraan. Tiap lampu merah pasti macet dan macetnya panjang banget kayak ada di Jakarta. Setelah bolak-balik salah jalan akhirnya sampai di pesantren anak. Setelah dari pesantren anak kemudian pulang menjelang maghrib. Sampai rumah sekitar tengah malam yaitu pukul 12.